Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memandang lesunya kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tak semata-mata disebabkan oleh serbuan produk impor yang membanjiri pasar domestik.
Menurut Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani, terdapat isu lain yang menjadi faktor utama pemicu runtuhnya industri TPT, di antaranya upah minimum yang dinilai tidak terjangkau, daya saing yang lemah, hingga target pasar yang belum dioptimalkan.
"Saya rasa kita harus cukup rasional dan dewasa untuk melihat bahwa isu di sektor TPT tidak semata-mata karena impor tapi juga karena disumbang oleh isu lain," kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (4/10/2023).
Dalam hal upah minimum, nilai upah di Indonesia masih disebut tidak terjangkau jika dibandingkan dengan negara pesaing, seperti Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh.
Padahal, menurut Shinta, beban upah memiliki proporsi besar dalam ongkos produksi TPT sehingga memengaruhi daya saing di pasar domestik dan luar negeri. Dia menuturkan, jika biaya upah tetap tinggi, maka harga jual produk TPT di pasar pun akan lebih mahal.
"Ini saya rasa isu terbesar dan paling mengancam daya saing produk TPT nasional. Karena itu harus ada value added lain yang diberikan oleh produk TPT nasional entah dalam bentuk desain, kualitas atau inovasi produk lain yang menjual atau dicari di pasar," ungkapnya.
Baca Juga
Di samping itu, sektor hulu TPT nasional pun dinilai tidak memiliki daya saing yang memadai terhadap produk-produk impor. Hal ini dikarenakan mesin-mesin produk yang tua, boros energi, dan tidak efisien.
Oleh karena itu, tak heran jika daya saing harga jual produk di pasar dengan kualitas produk yang sama menjadi rendah. Untuk itu, kondisi tersebut yang semestinya difasilitasi dan dibenahi oleh pemerintah.
"Caranya dengan modernisasi mesin-mesin produksi yang dibutuhkan agar output produk TPT kita terus bersaing dengan impor," jelasnya.
Lebih lanjut, Shinta menyoroti pertumbuhan kelas menengah yang mendominasi pasar domestik dalam 10 tahun terakhir. Dengan demikian, permintaan pasar semestinya semakin besar terhadap produk tekstil yang dijual di pasar domestik, khususnya dari segi kualitas, desain, hingga aspek keterjangkauan.
"Ini perkembangan yang saya rasa kurang diantisipasi atau dipersiapkan oleh banyak produsen garmen nasional, khususnya skala UMKM sehingga kita kurang bersaing terhadap impor," tuturnya.
Namun, sejumlah polemik di atas juga tidak menampik fakta bahwa Indonesia masih belum memiliki kapabilitas pertahanan yang baik untuk menangkal predatory barang impor atau dumping karena pemahaman yang rendah.
Sementara itu, lanjut Shinta, pemerintah pun tidak memiliki mekanisme dan sumber daya yang memadai untuk melakukan market intelligence dan investigasi terhadap potensi dumping.
"Selain itu, penjagaan terhadap impor ilegal juga masih sangat lemah dan tetap banyak oknum sehingga banyak loophole yang bisa dimanfaatkan oleh untuk menjual produk TPT impor yan tidak melalui prosedur impor semestinya," pungkasnya.