Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah menyalurkan dana melalui empat bank BUMN untuk mendukung pinjaman berbunga rendah kepada Koperasi Desa Merah Putih dinilai berpotensi membebani APBN.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai skema tersebut membuka ruang risiko fiskal dan tantangan akuntabilitas.
"Narasinya ini kan kemitraan lintas lembaga, ada Kemenkeu, BUMN, Himbara, hingga kementerian teknis seperti Kemendes dan Kemenkop. Pertanyaannya, siapa yang akan menanggung risiko gagal bayar? Apakah jadi liabilitas APBN, tanggung jawab bank penyalur, atau justru ditimpakan ke desa?" ujar Media kepada Bisnis, Kamis (31/7/2025).
Selain itu, sambungnya, perlu ada kejelasan pihak yang bertanggung jawab melakukan verifikasi kelayakan koperasi penerima pinjaman. Dia mengingatkan pengalaman masa lalu, seperti kegagalan banyak KUD (Koperasi Unit Desa) pada era Orde Baru, yang menunjukkan bahwa dominasi birokrasi dan intervensi negara dalam pembiayaan koperasi kerap berujung pada pemborosan fiskal dan kredit bermasalah.
"Misalkan terjadi gagal bayar secara massal, otomatis yang terjadi adalah dana publik mensubsidi kredit bermasalah atau risiko kredit untuk Kopdes ini. Akhirnya merugikan masyarakat luas karena terjadi shifting anggaran APBN, yang habis terbuang percuma. Ini tidak fair untuk masyarakat yang tidak terlibat apa-apa dengan Kopdes,” paparnya.
Adapun pemerintah menetapkan bunga koperasi merah putih tetap 6% dengan tenor pinjaman hingga 6 tahun dan masa tenggang (grace period) antara 6 hingga 8 bulan. Hanya saja, Media mengingatkan bahwa insentif murah ini justru membuka ruang moral hazard, baik di sisi koperasi maupun bank penyalur.
Baca Juga
Dia menilai penempatan dana eksklusif di Himbara menciptakan distorsi terhadap prinsip persaingan usaha. Pasalnya, bank swasta dan lembaga keuangan mikro seperti BPR (Bank Perekonomian Rakyat) yang memiliki jejaring kuat di pedesaan, tertutup dari skema ini.
“Dominasi bank BUMN ini menghilangkan ruang kompetisi. Padahal, selama ini mereka bersusah payah mencari nasabah yang berkualitas. Sekarang tiba-tiba disuntik program, inovasi internal bisa bermasalah,” jelasnya.
Media turut menggarisbawahi bahwa dana publik harus dijauhkan dari kepentingan politik. Dia mewanti-wanti potensi penyalahgunaan dana penempatan sebagai instrumen politik yang dapat mencederai prinsip non-diskriminatif.
Bagaimanapun, lanjutnya, investor bank BUMN itu bukan cuma pemerintah. Jika terjebak ambisi politik maka kredibilitas bank BUMN di mata investor bisa anjlok.
"Tidak heran saham bank BUMN kemarin turun saat peluncuran Kopdes Merah Putih,” kata Media.
Dengan berbagai catatan tersebut, Celios mendesak agar skema Kopdes Merah Putih dievaluasi secara menyeluruh sebelum implementasi. Menurut Media, keberhasilan program bukan sekadar penyaluran dana, tetapi juga menjamin keberlanjutan fiskal dan integritas sistem keuangan nasional.
Penjelasan Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menempatkan dana di empat bank milik negara untuk memperkuat likuiditas perbankan dalam menyalurkan pinjaman berbunga rendah kepada Koperasi Merah Putih.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya akselerasi pembangunan Koperasi Desa Merah Putih yang tercantum dalam Asta Cita serta Instruksi Presiden Nomor 9/2025.
Nantinya, Menteri Keuangan melalui APBN menempatkan dana di BRI, BNI, Mandiri, dan Bank Syariah Indonesia, termasuk menggunakan sisa anggaran lebih (SAL) di Bank Indonesia, yang disalurkan melalui fasilitas pinjaman dari perbankan.
“Sehingga keempat bank ini memungkinkan untuk memberikan pinjaman kepada koperasi desa dan koperasi kelurahan merah putih dengan suku bunga yang rendah, yaitu 6%,” ujar Sri Mulyani, Senin (28/7/2025).
Skema ini dirancang agar likuiditas perbankan tetap terjaga dan tidak terjadi crowding out atas kredit sektor produktif lainnya. Menurutnya, penempatan dana pemerintah dilakukan dengan biaya dana (cost of fund) yang relatif murah, sehingga bank bisa menyalurkan kredit tanpa menaikkan risiko keuangan secara signifikan.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa pembiayaan kepada koperasi tidak serta-merta bersifat jatah. Dia menekankan bahwa setiap permohonan pinjaman harus tetap melalui proses due diligence secara proper oleh bank, termasuk analisis kelayakan usaha.
Dalam desain skema pinjaman, pemerintah bersama Himbara dan Kementerian BUMN menetapkan beberapa parameter, yaitu: suku bunga tetap 6%, tenor pinjaman hingga 6 tahun, dan grace period atau masa tenggang antara 6—8 bulan yang tergantung kapasitas usaha koperasi.
Dukungan fiskal, sambung Sri Mulyani, juga disinergikan dengan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta skema penjaminan simpanan dan kredit.
Untuk memberikan kepastian hukum, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49/2025 yang mengatur tata cara pinjaman daerah untuk mendanai koperasi desa dan kelurahan. Selanjutnya, Kementerian Dalam Negeri akan menetapkan regulasi mengenai persetujuan dan penggunaan DAU-DBH oleh bupati, walikota, dan kepala desa untuk mendukung skema pembiayaan ini.
Adapun, dari sisi kelembagaan, seluruh kepala desa atau lurah akan bertindak sebagai pengawas koperasi. Mereka juga bertanggung jawab dalam pengembangan kapasitas SDM dan tata kelola koperasi.
Bendahara negara mengklaim asas risiko tetap dikelola dengan baik, bank tetap menjalankan tugas meski pemerintah memberikan afirmasi.
“Jadi ini semuanya untuk memberikan seluruh kerangka struktur agar tujuan baik untuk meningkatkan kegiatan ekonomi desa melalui pemihakan kebijakan pemerintah tetap berjalan proper," katanya.