Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia belum bisa bernapas lega dengan diturunkannya tarif bea masuk barang ke Amerika Serikat (AS) menjadi 19% dari sebelumnya 32%. Tarif tersebut masih dinilai berat bagi pelaku industri dan masih berpotensi kalah bersaing dengan negara kompetitor.
Posisi tarif bea masuk ke AS yang diberlakukan untuk produk asal Indonesia memang paling rendah dibandingkan negara-negara sejawat, termasuk Asean. Posisi tarif yang dikenakan ke Thailand saat ini 36%, Laos 40%, Malaysia 25%, dan Vietnam 20% (kecuali transshipment).
Meski diberikan tarif paling rendah, biaya produksi dan logistik di Indonesia masih lebih tinggi daripada Vietnam, Laos, Kamboja, dan lainnya. Alhasil, harga jual akhir di pasar masih cenderung sulit berkompetisi di pasar AS.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana mengatakan, melihat posisi tarif ke AS saat ini, Indonesia memang terlihat unggul dibanding Vietnam yang menjadi kompetitor utama ekspor produk tekstil. Namun, Vietnam masih unggul dari segi biaya produksi dan logistik yang lebih efisien.
"Indonesia dan Vietnam ini kan hanya beda 1%, tapi logistik dari Vietnam ke Amerika itu ongkos kirim kapalnya itu jauh lebih murah. Jadi kita 19% tetap kalah kalau dengan Vietnam," ujar Danang saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (21/7/2025).
Dalam catatannya, kapasitas ekspor Vietnam saat ini 4 kali lipat lebih besar dibandingkan Indonesia. Rata-rata ekspor produk tekstil Vietnam hampir mencapai US$9 miliar, sementara Indonesia hanya di angka US$2,3 miliar.
Baca Juga
Tak hanya itu, ekspor pakaian lainnya dalam HS 62 dari Indonesia mencapai US$2,1 miliar, sementara Vietnam US$6,8 miliar.
Sementara itu, pangsa pasar ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia ke AS mencapai 40,6%. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor pakaian dan aksesorisnya (rajutan) atau HS 61 mencapai US$1,02 miliar pada Januari-Mei 2025.
Oleh karena itu, Indonesia belum bisa sepenuhnya mengoptimalkan diskon tarif Trump 19% apabila polemik internal industri tak diperbaiki. Terlebih, industri nasional masih kalah lantaran jarak pengiriman yang lebih jauh.
"Kompetitor kita itu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Indonesia paling mahal [produksi dan logistik] di antara semuanya karena kita juga paling jauh ke sana [AS]," tuturnya.
Harapan Tarif Lebih Rendah
Tak hanya tekstil, Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (Gapmmi) juga masih mengharapkan tarif lebih rendah untuk dapat berdaya saing di pasar AS. Harapan tersebut masih ada jika impor bahan baku dari AS dengan tarif 0% dapat segera terlaksana.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan, implementasi impor bebas tarif untuk produk AS ke Indonesia ini dinilai dapat memengaruhi daya saing produk makanan dan minuman, terlebih dengan produk asal Vietnam yang juga masuk di pasar AS.
"Kita tingkatkan daya saingnya, kita bisa berharap menambah penjualan ekspor kita ke Amerika dan kita bisa mengalahkan Vietnam gitu ya, karena Vietnam cukup besar," kata Adhi ditemui terpisah.
Adapun, penerapan tarif yang ditetapkan AS untuk Indonesia belum final berlaku pada 1 Agustus 2025. Tarif tersebut masih fleksibel atau dapat berubah seiring dengan realisasi komitmen pembelian bahan baku dari AS oleh Indonesia.
Adhi menegaskan bahwa impor dari AS harus berupa bahan baku untuk memastikan nilai tambah dalam negeri dan kemudian diekspor sebagai produk jadi dari Indonesia.
"Jadi dari agriculture [pertanian] tadi diminta beberapa komoditas untuk realisasi [impor] dan kami sudah komitmen juga, antara lain dari gandum, jagung, kedelai, susu dan lain sebagainya," ujarnya.
Di sisi lain, Indonesia dan AS juga memiliki skema ketelusuran (traceability) produk yang dapat mengurangi tarif masuk ke AS. Namun, skema perhitungannya masih dalam pembahasan.
"Berdasarkan traceability-nya nanti akan dihitung. Itu yang kesepakatan dengan AS. Contoh kapas, kapas itu diimpor berapa [dari AS], kemudian kapas ini bisa mengurangi [tarif produk] yang masuk yang ke sana, produk jadinya ke Amerika, tapi persentasenya berdasarkan traceability," jelasnya.
Dengan demikian, Adhi optimistis bahwa Indonesia dapat diberikan tarif resiprokal yang lebih rendah dari 19%. Di sisi lain, ada beberapa aspek yang harus diperbaiki di dalam negeri supaya produk lokal dapat lebih berdaya saing.
Penurunan tarif ekspor Indonesia ke AS sangat penting lantaran ekspor makanan dan minuman yang cukup tinggi, yakni senilai US$1,8 miliar atau 15% dari total ekspor produk olahan pangan senilai US$12 miliar.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa tarif impor 19% dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah bersifat final dan tidak serta merta berlaku 1 Agustus 2025, bisa lebih awal maupun lebih lama.
Airlangga menjelaskan bahwa kesepakatan tarif akan berlaku bilamana joint statement atau kesepakatan bersama tersebut diumumkan lebih lanjut oleh Presiden Donald Trump.
“Nah, ini [kapan waktunya] akan ditentukan menunggu pengumuman lanjutan. Bisa lebih cepat, bisa lebih lama [dari 1 Agustus],” ujarnya dalam konferensi pers usai sosialisasi tarif 19% bersama eksportir di kantornya, Senin (21/7/2025).
Dengan demikian, pada 1 Agustus mendatang, Indonesia bersama negara yang sudah sepakat dengan Trump—seperti Inggris, China, dan Vietnam—tidak lagi terkena tarif resiprokal yang tinggi.
Namun, perlu diingat bahwa tarif yang berlaku nantinya masih menunggu joint statement diumumkan, yakni tarif dasar sebesar 10% dan tarif most favored nation (MFN).