Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) mengungkap potensi peningkatan relokasi pabrikan industri pengerjaan logam dasar dari berbagai negara ke Indonesia. Hal ini dipicu penurunan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) untuk produk RI menjadi 19%.
Ketua Umum Gamma Dadang Asikin mengatakan, kesepakatan kedua negara untuk menurunkan tarif bea masuk ke AS akan memberikan dampak positif yakni menarik investasi masuk ke Indonesia, baik ekspansi pabrik maupun relokasi.
"Kami meyakini dan mempunyai harapan akan ada kenaikan investasi di sektor industri yang angkanya masih menjadi perhitungan para pengamat ekonomi, perkiraan saya kenaikannya antara 1,5%-2%," kata Dadang kepada Bisnis, Selasa (12/8/2025).
Menurut Dadang, relokasi industri dari negara-negara produsen logam dasar seperti China hingga India ke Indonesia bisa terjadi usai Presiden AS Donald Trump mengancam tarif tinggi untuk kedua negara tersebut, meskipun negosiasi masih berlanjut hingga kini. Pasalnya, tarif resiprokal bagi industri berorientasi ekspor sangat memengaruhi daya saing dan nilai akhir suatu produk.
Namun, para investor juga melihat hal lain dari aspek insentif sebelum memindahkan pabrik ke Indonesia. Selain itu, klausul transshipment yang ditentang AS dari negara tertentu juga dapat membuat investor maju mundur untuk mengalihkan usahanya ke RI.
"Adanya klausul anti-transshipment, di mana dalam kesepakatan berpotensi menghalangi relokasi dari China yang memang ditarget sebagai lawan AS yang menjadi dasar AS menerapkan kebijakan ini," tuturnya.
Baca Juga
Dia mencontohkan Vietnam yang kini telah diberikan ketentuan tarif 40% untuk barang transshipment. Jika Indonesia juga memasukkan produk China untuk kemudian diekspor ke AS, maka bukan tidak mungkin ada ketentuan tarif tambahan lebih dari Vietnam.
"Jika produk China diproduksi ulang di Indonesia, tarif tambahan tetap bisa dikenakan sehingga membuat relokasi ke Vietnam lebih menarik karena klausul serupa Vietnam lebih ringan dibanding Indonesia," tuturnya.
Di sisi lain, pihaknya menyoroti potensi ekspansi industri berkat hilirisasi yang tengah masif dilakukan. Menurut Dadang, sektor logam dasar sedang tumbuh meskipun dengan sikap berhati-hati.
Adapun, merujuk data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM realisasi investasi sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin, dan peralatannya tercatat mencapai Rp67,11 triliun dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan total 5.272 proyek pada triwulan II/2025.
Realisasi investasi sektor tersebut turun dari periode yang sama tahun sebelumnya atau triwulan II/2024 yang mencapai Rp74 triliun dengan total 2.790 proyek.
Meski turun, Dadang menyebut, subsektor industri logam dasar dan barang logam (bukan mesin) merupakan penyumbang terbesar dengan nilai Rp134,4 triliun atau sekitar 14,3% dari total investasi semester I/2025.
Untuk menggenjot investasi dan relokasi dari pemain global ke dalam negeri, pihaknya mendorong perbaikan regulasi dan birokrasi yang hingga saat ini dinilai masih tumpang tindih antara kebijakan daerah dengan pusat.
Tak hanya itu, perizinan, kepastian hukum investasi, dan konsistensi kebijakan sinergi pusat-daerah, serta penyederhanaan sangat juga dinilai penting.
"Kelanjutan peningkatan infrastruktur dan kawasan industri sehingga konektivitas dan penurunan biaya logistik. Pemerintah telah menyiapkan misalnya kawasan industri seperti Brebes [KIB], Kawasan Industri Terpadu Batang [KITB] dan lainnya yang mempermudah perizinan dan harga lahan kompetitif," tuturnya.
Lebih lanjut, Dadang mendorong penguatan sumber daya manusia yang fokus pada pelatihan tenaga kerja terampil, fleksibilitas ketenagakerjaan, sistem pendidikan berbasis industri atau disebut vokasi atau pendidikan sistem ganda.
"Menarik investasi industri pengolahan dengan basis hilirisasi komoditas dapat mengoptimalkan rantai nilai lokal dan sustainable sehingga efek domino yang ditimbulkan dari kegiatan investasi tersebut bisa mempunyai daya dorong pertumbuhan industri pendukung," pungkasnya.