Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendukung aturan pemerintah terkait tata kelola sistem perdagangan elektronik yang kini memisahkan platform media sosial dan e-commerce. Kebijakan tersebut dinilai menjadi satu langkah untuk menahan laju impor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Adapun, aturan pemisahan platform tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pedagangan (Permendag) No. 31/2023 sebagai revisi dari Permendag No. 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, media sosial dan e-commerce memang semestinya dibuat terpisah untuk menjaga ekosistem perdagangan.
"Social commerce dan e-commerce memang harus dipisah, langkah itu sudah benar. Tinggal menyempurnakan aturannya lagi," kata Jemmy kepada Bisnis, Rabu (4/10/2023).
Upaya pemerintah yang memisahkan kedua platform dinilai dapat berdampak positif bagi industri dalam negeri. Namun, menurut Jemmy, Permendag tersebut belum cukup dan mesti didukung oleh aturan lainnya, salah satunya yang berkenaan dengan aturan pelarangan terbatas (lartas).
Dalam hal ini, API meminta perubahan lartas yang mengalihkan pengawasan dari post border untuk kembali ke border, khususnya untuk produk pakaian jadi dan aksesoris pakaian serta barang jadi tekstil.
Baca Juga
Adapun, regulasi pengawasan tersebut saat ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 51/2020 tentang Pemeriksaan dan Pengawasan Tata Niaga Impor Setelah Melalui Kawasan Pabean (Post Border).
"Untuk pakaian jadi, tata impor yang sekarang post border buat jadi border kembali, dulu pernah border terus diubah jadi post border," tuturnya.
Pengawasan lartas border, yakni pengawasan yang dilakukan oleh petugas bea cukai di kawasan pabean, sedangkan pengawasan post border dilakukan setelah keluar kawasan pabean dan telah beredar di masyarakat yang diawasi oleh kementerian/lembaga terkait.