Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merespons tudingan yang menyebutkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat menjadi masalah bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Adapun, tudingan tersebut dilontarkan oleh Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif dalam agenda rilis Indeks Kepercayaan Industri (IKI) September 2023. Dia mengeluhkan terkait pasal yang mengizinkan produk berorientasi ekspor diperkenankan masuk pasar domestik.
Menanggapi pernyataan tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo membenarkan bahwa pengusaha di kawasan berikat merupakan pengusaha berorientasi ekspor yang menjadi bagian permintaan dan pasokan global.
"Dalam situasi tertentu, terutama saat permintaan global menurun seperti terjadi saat pandemi, dapat diberikan fasilitas penyerahan ke dalam negeri setelah dikoordinasikan dengan instansi yang membidangi sektor industri," kata Yustinus dalam keterangan tertulis, Minggu (1/10/2023).
Namun, untuk menjaga keadilan dengan pelaku usaha nonkawasan berikat, penyerahan barang dari kawasan tersebut ke daerah pabean lain di wilayah RI akan diperlakukan serbagai impor dan harus memenuhi kewajiban pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Dengan demikian, daya saing industri dalam negeri dapat tetap terjaga. Di samping itu, Yustinus menyebutkan bahwa kebijakan kawasan berikat merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk memperkuat industri nasional.
Baca Juga
Dalam hal ini, kawasan berikat mendukung industri dalam negeri seperti penyerapan bahan baku, penyerapan tenaga kerja, perbaikan mata rantai pasok, dan mendorong ekspor yang menghasilkan devisa bagi perekonomian.
"Selama ini kinerjanya cukup memuaskan sebagai hasil koordinasi dan sinergi antarinstansi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya," tuturnya.
Berkaitan dengan melemahnya industri TPT nasional akibat banjir barang impor, Kemenkeu melalui Ditjen Bea dan Cukai memastikan akan aktif berkoordinasi dan bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan instansi lainnya, termasuk dengan asosiasi pengusaha kawasan berikat.
"Sehingga pengawasan selama ini berjalan efektif dan dapat menjaga fairness kepada semua pelaku usaha," pungkas Yustinus.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, ada banyak produk impor di kawasan berikat yang diorientasikan untuk pasar ekspor, justru malah membanjiri pasar dalam negeri.
"Ada PMK itu yang menyatakan bahwa produk ekspor yang tidak terserap oleh pasar luar negeri itu bisa dijual di pasar domestik," kata Febri.
Hal tersebut dinilai memicu ketidakstabilan industri TPT nasional yang saat ini masih dalam fase kontraksi karena banjirnya produk impor. Dia pun tak memungkiri, pasar ekspor yang melemah membuat produk tekstil sulit untuk terserap di pasar global.
Adapun, dalam pasal 31 pada PMK tentang Kawasan Berikat disebutkan bahwa pengeluaran hasil produksi ke tempat lain dalam daerah pabean dilakukan dalam jumlah paling banyak 50 persen dari penjumlahan nilai realisasi ekspor dan penjualan ke berbagai kawasan.
"Kami melihat itu salah satu yang menjadi masalah, jadi ada produk-produk industri yang ada di kawasan berikat yang berorientasi ekspor malah masuk ke pasar domestik," tuturnya.