Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai perlambatan Purchasing Manager's Index atau PMI manufaktur Indonesia ke level 52,3 pada September 2023 dari bulan sebelumnya 53,9 belum begitu mengkhawatirkan.
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, mengatakan potensi kontraksi kinerja baru terlihat jika angka indeks berada di bawah borderline angka 50. Meski melambat 1,6 poin, keyakinan pelaku usaha untuk ekspansi kinerja masih tinggi.
"Kami tidak melihat penurunan indeks ini sebagai hal yang signifikan atau mencerminkan adanya hal yang perlu dikhawatirkan dalam kinerja industri manufaktur nasional dalam waktu dekat," kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (4/10/2023).
Menurut Shinta, perlambatan PMI manufaktur pada September 2023 ini disebabkan adanya persepsi pelaku usaha industri akan risiko ekspansi yang lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya.
Beberapa sentimen yang memperngaruhi yaitu semakin dekatnya periode transisi politik dan pelemahan nilai tukar yang berlangsung semakin lama, sedangkan pasar memiliki potensi penurunan daya beli yang lebih tinggi karena kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi.
"Tetapi ini bukan risiko yang kami anggap terlampau membahayakan, jadi kami harap media dan masyarakat juga tidak overthinking atau berspekulasi secara negatif," ujarnya.
Baca Juga
Dia menegaskan bahwa pelaku industri saat ini masih sangat percaya diri terhadap ekspansi usaha. Meskipun, tak dipungkiri pada saat yang sama pengusaha lebih berhati-hati dan bijaksana terhadap ekspansi usaha karena faktor-faktor risiko yang semakin meningkat.
"Kami memperkirakan PMI masih akan terus berada di ranah ekspansif, solid di atas 50, khususnya menjelang akhir tahun karena dukungan momentum konsumsi akhir tahun dan persiapan pesta demokrasi/pemilu," jelasnya.
Shinta memperkirakan momentum tersebut dapat mendongkrak kinerja usaha di sektor manufaktur dan pendukungnya karena belanja pemerintah yang meningkat.
Namun, hal tersebut hanya dapat tercapai apabila proses transisi bisa terjadi secara mulus, kondusif dan minim kekisruhan sosial-politik. Dalam hal ini, pemerintah juga berkewajiban menciptakan stabilitas makro ekonomi, khususnya nilai tukar dan inflasi kebutuhan pokok.
"Semakin damai dan mulus proses politiknya, semakin baik dan akan semakin mendukung confidence pelaku usaha, investor dan masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sewajarnya," tuturnya.
Lebih lanjut, dia berharap jika para calon pemimpin mendukung terciptanya iklim usaha dan investasi yang semakin stabil, efisien, terbuka dan berdaya saing secara global.
"Yang paling akan sangat mempengaruhi penguatan PMI sudah pasti pertumbuhan demand pasar domestik dan kondusifitas iklim usaha sepanjang proses transisi politik, khususnya kampanye," pungkasnya.