Bisnis.com, JAKARTA - Ketegangan antara China dan Amerika Serikat (AS) semakin meningkat. Hal ini mulai dari tarif perdagangan yang saling berbalas, adanya persaingan di bidang teknologi, hingga tuduhan yang dilontarkan mengenai penyadapan.
Mengutip Reuters, Senin (2/10/2023), ketegangan dua negara ini memberikan dampak bagi pasar global yang sangat signifikan, lantaran kedua belah pihak berusaha untuk mengurangi ketergantungannya dengan satu sama lain, yang sudah terjalin dalam rantai pasokan yang ‘mapan’.
Hal ini lah kemudian menjadi faktor inflasi dan tingkat suku bunga tetap tinggi. Namun, negara-negara berkembang dan raksasa teknologi juga memperoleh keuntungan dalam pertarungan ini.
Diketahui bahwa Presiden AS Joe Biden memiliki tekad untuk mengembalikan produksi dalam sektor-sektor strategis seperti kendaraan listrik dan semikonduktor ke dalam negeri.
Berdasarkan penelitian Goldman Sachs, ditemukan bahwa dengan mengembalikan produksi ke dalam negeri memiliki dampak inflasi, terutama jika produksi manufaktur di Barat tidak meningkat dengan cepat, untuk mengimbangi penurunan impor.
"Kita membangun dunia yang terglobalisasi dengan alasan, itu efisien dan murah," jelas chief investment strategist untuk EMEA dan APAC di Northern Trust, Wouter Sturkenboom.
Baca Juga
Kemudian, penguatan dolar AS dapat mengekspor inflasi ke negara-negara pengimpor sumber daya di Eropa, dengan memaksa mereka untuk membayar lebih banyak untuk komoditas yang dihargai dalam dolar.
Berikutnya, Negeri Paman Sam ini juga mendorong “friendshoring” yakni gagasan untuk menggantikan peran China dalam rantai pasokan dengan negara-negara sahabat.
Contohnya, penelitian yang dipimpin oleh Laura Alfaro dari Harvard Business School mengidentifikasi Vietnam dan Meksiko sebagai penerima manfaat utama dari pergeseran rantai pasokan AS sejauh ini.
Mongolia juga diketahui sedang mencari investasi AS dalam penambangan logam tanah jarang (LTJ), yakni material untuk produk-produk teknologi seperti smartphone. Filipina juga sedang mencari investasi infrastruktur AS.
Kepala geopolitik di Amundi Investment Institute, Anna Rosenberg juga menuturkan bahwa ketegangan China-AS memberikan lensa baru untuk menganalisis prospek pertumbuhan negara-negara berkembang.
Di lain sisi, India juga dipandang sebagai negara yang paling mampu untuk bersaing dengan China dalam manufaktur berbiaya rendah dan berskala besar. Dengan populasi kaum muda yang besar dan kelas menengah yang terus berkembang, maka dapat menciptakan peluang bagi perusahaan multinasional yang bisnisnya mengalami penurunan di China.
Pada tahun ini, saham India telah menguat sebesar 8 persen. Prospek arus investor ke pasar obligasi juga mendapat dorongan dari rencana JPMorgan untuk memasukan India dalam indeks obligasi pemerintah utama tahun depan.
Bank sentral India juga memperkirakan perekonomian akan tumbuh 6,5 persen pada tahun fiskal ini. Sementara itu, China diproyeksikan tumbuh sekitar 5 persen pada 2023.
“India adalah peluang yang sangat besar,” jelas kepala investasi di manajer aset J. Stern, Christopher Rossbach.
Barclays juga menuturkan bahwa jika India meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahunan mendekati 8 persen selama lima tahun kedepan, maka India bisa berada dalam posisi menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan global.