Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) bersama dengan raksasa migas Malaysia, Petroliam Nasional Berhad atau Petronas tengah melakukan studi bersama atau joint study untuk membuktikan potensi cadangan migas di cekungan Seram, yang saat ini masih berstatus lapangan terbuka atau open area.
Studi bersama dua perusahaan migas itu menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk melakukan penyiapan wilayah kerja (WK) pada salah satu cekungan yang belum terekplorasi dan dikembangkan di wilayah timur Indonesia.
“Sekarang sedang dikaji Petronas bersama dengan Pertamina nanti prosesnya biasa kalau joint study setelah selesai kita tawarkan lelang,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji saat ditemui di sela-sela agenda IPA Convex, BSD Tangerang, Rabu (26/7/2023).
Berdasarkan data awal milik Kementerian ESDM, cekungan Seram memiliki potensi minyak mencapai 7.596 juta barel oil (mmbo) dan 13,69 triliun kaki kubik (Tcf). Adapun, studi bersama yang dilakukan itu berkaitan dengan kegiatan survei seismik 3D lepas pantai (deep water).
Adapun, studi bersama tersebut sudah berjalan sejak Januari 2023. Otoritas hulu migas menargetkan studi itu rampung pada Agustus 2023 untuk segera diperoleh keputusan penetapan cekungan Seram sebagai WK baru.
“Estimasi kita cukup besar tapi harus dikaji dulu, harus lebih detail dulu,” kata dia.
Baca Juga
Di sisi lain, dia mengatakan, kementeriannya menargetkan penyiapan WK cekungan Seram dapat diselesaikan tahun ini untuk dapat segera dilelang. Hanya saja, kata dia, lelang cekungan Seram kemungkinan belum bisa dilakukan akhir tahun ini.
“Mungkin tidak dalam waktu dekat ini kita lelang, untuk yang lelang September [ada WK] yang lain,” kata dia.
Seperti diketahui, dua perusahaan migas itu baru saja menyelesaikan akuisisi 35 persen hak partisipasi atau participating interest (PI) Shell Upstream Overseas Services (I) Limited (SUOS), anak usaha Shell plc di proyek LNG Abadi Blok Masela.
Berdasarkan pernyataan resmi Shell, nilai divestasi 35 persen hak pengelolaan SUOS itu dilepas dengan harga sebesar US$650 juta setara dengan Rp9,75 triliun (asumsi kurs Rp15.002 per dolar AS) kepada Pertamina yang menggandeng perusahaan migas raksasa Malaysia, Petroliam Nasional Berhad atau Petronas sebagai mitra konsorsium.
Lewat konsorsium ini, Pertamina melalui PT Pertamina Hulu Energi (PHE) bakal memiliki 20 persen hak partisipasi Blok Masela, sementara Petronas 15 persen.
Sementara itu, pemerintah dinilai perlu memberi kepastian kontrak bagi hasil yang menarik bagi investor guna meningkatkan kegiatan eksplorasi di sekitar 70 cekungan migas yang belum tereksplorasi.
“Potensi sumber daya kalau merujuk angka-angka pemerintah besar sekali, beragam mulai dari 9 miliar barel setara minyak hingga 30 miliar barel setara minyak lebih, dan itu memang sebagian besar ada di cekungan wilayah timur yang belum tereksplorasi,” kata Pakar Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi, Selasa (16/5/2023).
Sementara itu, kata Pri, cadangan terbukti Indonesia baru sekitar 2,3 miliar barel setara minyak dan 36 triliun kaki kubik gas. Dengan demikian, potensi cadangan migas di dalam negeri masih relatif besar dan belum tereksplorasi lebih lanjut.
Hanya saja, dia menerangkan, upaya untuk memanfaatkan potensi sumber daya itu relatif mahal. Menurut dia, industri hulu migas domestik membutuhkan investasi yang cukup besar untuk mengubah potensi sumber daya itu menjadi lapangan yang komersial untuk dikembangkan.
“Itu semua memerlukan investasi yang tidak sedikit, dengan tingkat risiko dan ketidakpastian yang juga tinggi dan pada tahap itu, semua risiko masih ditanggung investor dengan tanpa ada pengembalian investasi,” kata Pri.
Menurut dia, pemerintah mesti memberikan kelonggaran dan kepastian pengembalian investasi yang menarik bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) agar ingin mengembangkan sejumlah cekungan potensial tersebut.
“Perlu terobosan untuk menerapkan kontrak baru yang fiscal term-nya bisa menarik investor. Misal, bagi hasil untuk investor 25 hingga 40 berbanding pemerintah 75 sampai 60, atau menerapkan kontrak baru seperti tax royalti, dengan tarif 5 sampai 15 persen saja,” kata dia.