Bisnis.com, JAKARTA – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 30 Maret 2022, dinilai dapat membebani ongkos logistik.
Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Zaroni mengatakan berdasarkan beleid itu, pengusaha kena pajak yang memungut pajak keluaran tidak dapat melakukan kredit dengan PPN Pajak Masukan atau PM. Dengan demikian, seluruh pajak masukan atas perolehan barang dan jasa kena pajak bagi perusahaan penyedia jasa logistik berubah menjadi biaya.
“Ketentuan ini berpotensi berdampak terhadap peningkatan beban biaya, penurunan laba, dan kesulitan dalam pengaturan cash flow,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (19/6/2023).
Hal tersebut, lanjutnya, dikarenakan penyedia jasa logistik membayar perolehan barang dan jasa kena pajak lebih besar atas pajak masukan, yang tidak dapat dikreditkan, sehingga kondisi ini berpotensi menaikkan biaya logistik secara agregat.
Ketentuan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu pada PMK itu, antara lain, mengatur secara spesifik jasa pengurusan transportasi yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasinya terdapat biaya transportasi dan jasa pengiriman paket pos.
Berdasarkan beleid tersebut, PPN dikenakan sebesar 10 persen kemudian dikalikan 11 persen lalu dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau 1,1 persen dan terakhir dikalikan DPP.
Baca Juga
Kendati demikian, Zaroni mengatakan Kementerian Keuangan memiliki alasan ataupun pertimbangan tersendiri dalam menerbitkan kebijakan tersebut.
Salah satu kemungkinannya lantaran masih banyak perusahaan di sektor logistik atau kurir, yang belum menjadi pengusaha kena pajak (PKP), sehingga perusahaan bersangkutan tidak dapat dikenakan pajak masukan dan keluaran.
Dia pun menyarankan agar pengenaan PPN untuk jasa freight forwarding dan jasa pengiriman barang untuk perusahaan penyedia jasa logistik, yang sudah menjadi PKP tetap menggunakan ketentuan PPN 11 persen dikalikan DPP, serta dapat dikreditkan dengan pajak masukan atas perolehan barang dan jasa kena pajak.
“Kebijakan ini akan membuat perusahaan penyedia jasa logistik tetap mampu bersaing melalui biaya yang lebih efisien, layanan yang lebih murah, dan cash flow yang lebih baik, sehingga berpotensi meningkatkan efisiensi biaya logistik,” tuturnya.
Zaroni juga mengusulkan agar peraturan tersebut dikaji kembali oleh Direktorat Jenderal Pajak, dengan melibatkan para ahli atau akademisi pajak, pengusaha, serta profesional logistik.