Bisnis.com, JAKARTA – Purchasing Managers Index (PMI) industri manufaktur pada Mei 2023 yang dirilis oleh S&P Global anjlok sebesar 2,4 poin menjadi 50,3 dari bulan sebelumnya yang mencapai 52,7. Pada bulan berikutnya PMI manufaktur diproyeksi kontraksi.
Ekonom Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira menyebutkan bahwa PMI industri manufaktur di Indonesia berpotensi menjajaki level kontraksi atau berada di bawah angka 50.
Dengan demikian PMI manufaktur Indonesia diperkirakan akan menyusul PMI manufaktur dunia, negara-negara tetangga dan beberapa negara maju lainnya yang pada Mei 2023 ini tercatat dalam level kontraksi.
Diketahui PMI manufaktur Dunia 49,6, negara tetangga seperti PMI Malaysia tercatat pada poin 47,8, Taiwan 44,3, Vietnam 45,3. Lalu negara maju seperti Korea Selatan 48,4, Inggris 47,1, Belanda 44,2, Jerman 43,2, Prancis 45,7, Amerika Serikat 48,4, dan Zona Eropa 44,8.
“Kita melihat dari mulai bulan Mei 2022 sampai dengan perkiraan pertengahan 2023 ini ada indikasi PMI manufakturnya masih bergerak di level 50 bahkan sekarang 50,3 jadi artinya manufaktur ini juga dikhawatirkan itu masuk juga ke dalam zona kontraksi,” tutur Bhima dalam acara "Bisnis Indonesia Green Economy Forum 2023", Rabu (7/6/2023).
Hal ini, menurutnya, dikarenakan industri manufaktur dalam negeri masih dihadapkan dengan sekelumit permasalahan seperti harga bahan baku yang naik dengan tajam, sehinggamembuat pelaku industri manufaktur kesulitan.
Baca Juga
Di sisi lain, Bhima menyebutkan bahwa efek harga energi yang fluktuatif juga menjadi beban tersendiri bagi pelaku industri. Terlebih sebagian pelaku industri di Indonesia bukan merupakan penerima subsidi energi dari pemerintah.
Selain itu, fluktuatifnya harga energi ini membuat pelaku industri harus merogoh kocek dalam untuk biaya produksi. “Banyak pelaku industri manufaktur itu mengeluh karena naik turunnya harga energi karena mereka sebagian besar kan penikmat non subsidi gas maupun juga BBM sehingga ketika fluktuasi harga energi cukup tinggi ini berpengaruh sekali terhadap biaya produksi dari manufaktur,” tambah Bhima.
Dia juga menyebutkan permasalahan rantai pasok yang terganggu akibat perang Rusia-Ukraina juga memiliki porsi pengaruh terhadap laju industri manufaktur di Tanah Air.
“Ada disrupsi rantai pasok terutama yang berkaitan dengan impor bahan baku mungkin kebetulan impor bahan bakunya terdampak dari peristiwa geopolitik Rusia Ukraina banyak juga yang mengalami hal itu,” jelasnya.
Tidak berhenti sampai disitu, perang Rusia-Ukraina ini juga berdampak pada berkurangnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor industri padat karya di Indonesia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Penurunan permintaan ini tidak hanya mendera tahun lalu dan tahun ini, tetapi Bhima menyebutkan masih akan berlanjut hingga tahun 2024 mendatang. Meskipun saat ini volume perdagangan masih tercatat tumbuh namun dengan nominal yang kecil, yaitu sebesar 2 persen saja.
“Ada permintaan ekspor di pasar tradisional, negara-negara tujuan ekspor tradisional kita pak mulai dari Tiongkok Jepang Korea Selatan Uni Eropa dan Amerika Serikat ini, 2024 output-nya kurang begitu baik volume perdagangan pun saat ini juga mengalami pelemahan,” pungkas Bhima.