Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Dirjen Beacukai Kemenkeu) buka suara terkait dengan peluang kenaikan tarif cukai rokok jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan peluang perubahan tarif cukai rokok tahun depan akan mengikuti mekanisme di DPR RI. Adapun, kepastiannya akan dibahas dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) 2024.
“Kami akan mengikuti mekanisme di DPR, membahas di UU APBN 2024 untuk kepastiannya. Satu tahap itu memang harus dilakukan walaupun sudah disepakati untuk jangka menengah 2 tahun, tetapi secara hukum, secara ketentuan regulasi, tetap harus kami bahas dan mendapat penetapan DPR,” ujarnya di Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta, Tangerang, Minggu (28/5/2023).
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen untuk tahun 2023 dan 2024. Penetapan tarif tersebut resmi diberlakukan pada 1 Januari 2023.
Askolani juga menyinggung terkait potensi penerimaan negara jelang Pemilu 2024. Dia berharap penerimaan negara dari cukai rokok tidak mengalami banyak perubahan pada tahun depan.
“Mudah-mudahan tidak banyak perubahan. Kita tahu, biasanya mengenai penerimaan cukai itu tergantung, satu dengan kebijakan tarifnya, kedua produksinya. Jadi, tentunya itu menjadi langkah kebijakan yang nanti akan diputuskan tahun depan,” pungkasnya.
Baca Juga
Di sisi lain, kebijakan tarif cukai rokok yang tergolong agresif terbukti mampu menggerus penerimaan negara. Hal ini disebabkan oleh kenaikan tarif yang memberatkan pabrikan, sehingga berimbas pada penurunan produksi hasil tembakau.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada kuartal I/2023 senilai Rp55,24 triliun. Angka tersebut turun 0,74 persen (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi penurunan pertama setidaknya dalam 4 tahun terakhir.
Tak hanya itu, secara bulanan produksi hasil tembakau pada Maret 2023 juga anjlok cukup tajam, yakni sebesar 19,05 persen. Penurunan ini disebabkan terkoreksinya produksi hasil tembakau, terutama sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) golongan 1.