Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi insentif pajak yang diberikan kepada investor. Hal tersebut seiring dengan fenomena serapan tenaga kerja yang rendah meski realisasi investasi pada kuartal I/2023 tercatat mencapai Rp328,9 triliun atau 23,5 persen dari target 2023 sebesar Rp1.400 triliun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, agar investasi bisa maksimal menyerap tenaga kerja, pemerintah juga perlu juga menyeleksi jenis investasi yang masuk. Dia menuturkan, jenis investasi yang menikmati tax holiday, tax allowance di Indonesia masih investasi yang bukan padat karya.
“Jangan semua investasi bisa masuk begitu saja. Mana investasi yang jadi pengalihan atau relokasi pabrik misalnya, basis produksi baru atau yang memiliki nilai tambah atau juga sifatnya padat karya. Itu harus diprioritaskan pemerintah yang menerima insentif. Jadi jangan semua diberikan insentif juga,” ujar Bhima kepada Bisnis, Rabu (3/5/2023).
Bhima menambahkan, bahwa minimnya serapan tenaga kerja meski arus investasi begitu deras disebabkan beberapa faktor. Misalnya, investasi lebih terkonsentrasi ke sektor jasa keuangan dan jasa yang berkaitan dengan teknologi digital misalnya. Itu membuat penyerapan tenaga kerja di sektor padat karya juga tidak terlalu meningkat.
“Memang ini terjadi deindustrialisasi secara prematur. Porsi sektor industrinya kan terus mengecil terhadap PDB, bahkan sempat di bawah 20 persen,” lanjut Bhima.
Dia juga menyebutkan faktor lainnya, yakni adanya ketidakcocokan antara keterampilan tenaga kerja yang keluar dari perguruan tinggi dan sekolah vokasi dengan kebutuhan investasi yang masuk. Bhima mencontohkan, industri baterai, kendaraan listrik yang membutuhkan tenaga kerja yang relatif banyak.
Baca Juga
“Karena nggak mungkin semua digantikan dengan robot. Jadi kalau ada teori, ini karena industri 4.0 sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja, menurut saya terlalu prematur,” tuturnya.
Padahal, Bhima berujar, jika melihat negara Jerman, Perancis, dua negaara yang terlebih dahulu menjajaki revolusi 4.0, ternyata tingkat penganggurannya terus menurun.
“Industri 4.0 memang menggantikan manusia dengan robot di pabrik. Tapi yang bikin robot kan ada industri baru. Itu bukti industri 4.0 tidak menciptakan pengangguran massal. Tapi banyak lapangan kerja yang tercipta. Kuncinya adalah sekolah vokasi di Perancis dan Jerman cukup bagus untuk menyuplai tenaga kerja di sektor manufaktur,” jelas Bhima.
Sebelumnya, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, penyerapan tenaga kerja Indonesia pada kuartal I/2023 tercatat sebanyak 384.892 orang. Angka tersebut tidak berbanding lurus dengan realisasi investasi.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengakui hal tersebut. Bahkan dia menyebut, penyerapan tenaga kerja memang menjadi momok di Indonesia. “Aku harus akui, antara nilai investasi kita dengan tenaga kerja itu nggak berbanding lurus,” katanya dalam konferensi pers, dikutip Selasa (2/5/2023).
Dijelaskan Bahlil, memang idealnya antara realisasi investasi harus berbanding lurus dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang maksimal. Namun, investasi yang ada saat ini tak lagi didominasi oleh padat karya, melainkan padat modal. Hal tersebut dapat dilihat dari sektor realisasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada kuartal I/2023 antara lain industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya, pertambangan, serta industri kimia dan farmasi.