Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investasi Tinggi tapi Serapan Tenaga Kerja Rendah, Ini Kata Pengusaha

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut tren minimnya penyerapan tenaga kerja seperti ini terjadi di seluruh dunia
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani saat ditemui di Kantor Apindo, Jakarta, Selasa (3/1/2023)./Bisnis-Ni Luh Anggela
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani saat ditemui di Kantor Apindo, Jakarta, Selasa (3/1/2023)./Bisnis-Ni Luh Anggela

Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha memandang wajar rendahnya penyerapan tenaga kerja di tengah tingginya realisasi investasi. Pada kuartal I/2023, realisasi investasi Indonesia mencapai Rp328,9 triliun atau 23,5 persen dari target 2023 sebesar Rp1.400 triliun.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai ke depannya, tenaga kerja yang dibutuhkan merupakan tipe tenaga kerja yang bisa diserap dalam skala besar bukan tenaga kerja unskilled, tetapi skilled workers yang saat ini masih terbatas di Indonesia.

Wakil Ketua Umum Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan, tren minimnya penyerapan tenaga kerja seperti ini terjadi di seluruh dunia. Hal ini karena adopsi teknologi dan digitalisasi ekonomi yang semakin cepat sejak pandemi.

“Kami sudah sering menyampaikan bahwa tren investasi di Indonesia semakin padat modal, bukan padat karya. Ini notion yang terjadi di seluruh dunia, khususnya karena adopsi teknologi dan digitalisasi ekonomi yang semakin cepat sejak pandemi,” ujar Shinta kepada Bisnis, Rabu (3/5/2023).

Karena itu, menurut Shinta, tenaga kerja yang dibutuhkan dalam kegiatan usaha sudah tidak sebanyak dibutuhkan sebelumnya. Kemudian, tipe tenaga kerja yang bisa diserap dalam skala besar juga bukan tenaga kerja tanpa keterampilan (unskilled), tetapi tenaga kerja terampil (skilled workers) yang ketersediaannya masih terbatas di Indonesia.

“Ini kondisi default yang tidak bisa dihindarkan dan perlu diterima kalau kita ingin menjadi negara yang kompetitif dan maju sehingga yang urgent untuk dilakukan adalah transformasi struktur kualifikasi tenaga kerja nasional yang sangat didominasi oleh unskilled workers agar di sisi supply tenaga kerja kita bisa lebih mudah diserap dalam lapangan-lapangan kerja baru yang diciptakan oleh investasi-investasi yang datang,” ungkap dia.

Sayangnya, kata Shinta, proses transformasi keterampilan dan peningkatan kualitas tenaga kerja ini sangat lambat dan tidak terarah terhadap pertumbuhan produktifitas pekerja dan output usaha, karena hanya fokus pada vokasi-vokasi. Namun, isu mismatch kualifikasi pekerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan di lapangan kerjanya (skills mismatch) masih sangat stagnan.

“Di sisi demand tenaga kerja, kami juga sudah lama mewanti-mewanti bahwa kita punya bonus demografi besar hingga 2030 sehingga investasi yang harus diciptakan juga harus jauh lebih besar agar tenaga kerja yang diserap juga semakin banyak meskipun serapan tenaga kerja per satu triliun investasinya menurun efek adopsi teknologi dan digitalisasi ekonomi,” tutur Shinta.

Menurut dia, reformasi struktural terhadap daya saing iklim usaha/investasi juga harus serius, dalam arti konsisten antara aturan dengan implementasi dan tidak 'maju-mundur' di mana di satu aspek direlaksasi/simplifikasi, tetapi di aspek lain justru semakin dipersulit.

Lebih lanjut, Shinta mengatakan, pemerintah juga perlu menciptakan iklim ketenagakerjaan yang sangat kondusif dan kompetitif terhadap keseimbangan antara biaya tenaga kerja dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja supaya investasi juga lebih tertarik melakukan investasi yang sifatnya lebih padat karya.

Masalahnya, ujar dia, biaya tenaga kerja di Indonesia itu salah satu yang termahal di Asean, bahkan terkadang lebih mahal dibandingkan Malaysia. Padahal kualitas, kualifikasi dan produktivitas pekerjanya biasa saja.

“Ini tentu saja membuat Indonesia tidak atraktif untuk investor menciptakan lapangan kerja. Kalau biaya pekerjanya mahal ya investor iuga lebih baik menciptakan lapangan kerja untuk pekerja-pekerja yang skilled dan sangat produktif, bukan yang unskilled dan produktivitasnya biasa-biasa saja,” ucap Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu.

Sebelumnya, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, penyerapan tenaga kerja Indonesia pada kuartal I/2023 tercatat sebanyak 384.892 orang. Angka tersebut tidak berbanding lurus dengan realisasi investasi. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengakui hal tersebut. Bahkan dia menyebut, penyerapan tenaga kerja memang menjadi momok di Indonesia.

“Aku harus akui, antara nilai investasi kita dengan tenaga kerja itu nggak berbanding lurus,” katanya dalam konferensi pers, dikutip Selasa (2/5/2023).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper