Bisnis.com, JAKARTA – Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengingatkan soal besaran pajak atas makanan di restoran, mengingat isu politisi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kena getok harga di salah satu rumah makan di Rest Area Tol Cipali.
Prastowo menjelaskan, pajak yang dipungut atas makanan di restoran termasuk pajak daerah yang sebelumnya bernama Pajak Restoran.
Sejak 2022 atau dalam Undang-undang (UU) No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), nomenklaturnya berubah menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
“Tarif PBJT diatur Pemda dengan batas atas 10 persen,” cuitnya dari akun Twitter pribadi @prastow, dikutip, Kamis (27/4/2023).
Adapun, PBJT sebagaimana tertuang dalam UU HKPD Pasal 50, objek PBJT yang Pemda pungut meliputi makanan/minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa kesenian dan hiburan.
Dalam curhatan politisi PSI Sigit Widodo beberapa waktu lalu, yang membayar makanan sebesar Rp155.000, padahal seharunya Rp116.000.
Baca Juga
“Nilai markup Rp 39.000 mungkin kecil untuk beberapa orang, namun bernilai untuk orang yang punya uang pas-pasan saat mudik. Untung saja saya bisa membayar saat itu,” cuitnya seperti dikuitp @sigitwid, Selasa (25/4/2023).
Bila menggunakan PBJT sebesar 10 persen, seharusnya markup nilai yang terjadi paling tinggi Rp11.600 atau menjadi Rp127.600.
Meski sempah membuat heboh, Sigit dengan rumah makan yang bersangkutan telah menyelesaikan masalah tersebut.
Sigit meminta rumah makan (RM) Hadea yang terletak di KM 86A Tol Cipali untuk menerapkan standar operasional seperti daftar harga dan bon pembelian, dan pembeli diperbolehkan membayar sebelum makan.
“Apa yang dilakukan oleh karyawan RM Hadea tetap tidak bisa dibenarkan, apalagi karyawan tersebut tidak memberikan bon. Perilaku karyawan semacam ini bisa menghancurkan kepercayaan pada UMKM,” tambahnya.