Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Surplus Neraca Dagang Kian Susut, Bisa Pulih Atau...?

Surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$2,91 miliar pada Maret 2023, yang terendah sejak Mei tahun lalu.
Ekspor - freepik
Ekspor - freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2023 menjadi yang terendah sejak Mei 2022.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$2,91 miliar pada Maret 2023. Surplus didapatkan dari nilai ekspor sebesar US$23,50 miliar dan impor mencapai US$20,59 miliar.

Meski demikian, surplus pada Maret 2023 menjadi yang terkecil sejak Mei tahun lalu di mana surplus nilai perdagangan Indonesia kala itu sebesar US$2,9 miliar. 

Selain itu, BPS mencatat perolehan surplus tersebut juga jauh lebih rendah jika dikomparasikan dengan periode Maret 2022 (year-on-year/yoy) yang mengantongi surplus US$4,53 miliar. 

BPS mencatat total nilai ekspor Indonesia pada Maret 2023 mencapai US$23,5 miliar atau turun 11,33 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.  

Pelemahan ini disebabkan oleh menurunnya ekspor migas sebesar 4,76 persen secara tahunan, sementara ekspor nonmigas terkontraksi 11,70 persen yoy.

Sementara itu, impor Indonesia per Maret 2023 naik 29,33 persen secara bulanan menjadi US$20,59 miliar. Dari jumlah ini, impor migas mencapai US$3,02 miliar atau naik 25,28 persen mtm, sementara impor nonmigas naik 30,05 persen mtm menjadi US$17,57 miliar.

Namun, secara tahunan, kinerja impor Indonesia Maret 2023 terkontraksi sebesar 6,26 persen. Perinciannya impor migas turun 13,67 persen yoy, sedangkan nonmigas 4,86 persen yoy. 

Kinerja Ekspor

“Surplus perdagangan menyempit ke level terkecil sejak Mei 2022 karena lemahnya kinerja ekspor yang berkontraksi lebih dari yang diperkirakan,” ujar Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman kepada Bisnis, Senin (17/4/2023). 

Faisal menilai melemahnya kinerja ekspor Indonesia disebabkan oleh turunnya harga komoditas. Hal ini terjadi di tengah lesunya permintaan global, yang diikuti dengan tingginya tekanan inflasi dan kenaikan suku bunga secara berkelanjutan. 

Dia memperkirakan bahwa surplus neraca perdagangan Indonesia cenderung menyusut, terutama pada semester II/2023. Akan tetapi, surplus perdagangan diperkirakan dapat bertahan lebih lama lantaran harga komoditas akan turun secara bertahap.  

“Penurunan harga komoditas akan lebih bertahap karena dibukanya kembali ekonomi China, pemangkasan produksi minyak OPEC+, turunnya produksi beberapa komoditas di tengah tingginya kemungkinan El Nino pada tahun ini dan redanya krisis energi global,” pungkasnya.  

Sementara itu, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyampaikan melambatnya kinerja ekspor pada kuartal I/2023 ini disebabkan oleh dua hal.

Pertama, ekonomi dunia di 2021 yang kemudian menjadi ukuran kenaikan di 2022, sedang mengalami anomali karena kondisi pandemi sehingga kenaikan di 2022 cenderung agresif.

“Sedangkan 2023 pandemi sudah relatif tidak menimbulkan efek yang signifikan,” kata Ajib kepada Bisnis, Senin (17/4/2023). 

Kedua, kondisi ekonomi global mulai melandai. Bahkan beberapa negara Eropa dalam bayang-bayang resesi sehingga pertumbuhan ekspor yang melandai relatif wajar. 

“Untuk jangka panjang, Indonesia bisa meningkatkan kualitas ekspor dengan komoditas yang mempunyai nilai tambah lebih maksimal,” ujarnya.

Adapun, komoditas yang dimaksud antara lain minyak sawit dan batu bara, di mana harga komoditas ini sangat dipengaruhi oleh global. Nilai tambah yang bisa didorong misalnya kelapa sawit diolah menjadi barang turunan siap pakai seperti minyak, kosmetik, hingga menjadi energi. 

“Intinya, setiap komoditas, secara bertahap secara ratio, semakin banyak yang diolah dinaikkan nilai tambahnya. Ini yang memerlukan peta jalan investasi jangka menengah maupun panjang,” jelasnya. 

Selain itu, guna mendongkrak kinerja ekspor, Apindo menilai pemerintah perlu memberikan insentif ekspor dan menekan komoditas impor agar cadangan devisa tetap terjaga.

Di sisi lain, kebijakan devisa hasil ekspor untuk tetap dalam sistem keuangan Indonesia, menjadi langkah efektif untuk menjaga kurs rupiah.

Waspada

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyoroti kondisi surplus neraca perdagangan yang semakin menyusut tersebut. 

“Ini tren yang harus kita waspadai karena sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global akibat geopolitik, inflasi tinggi, suku bunga tinggi, yang semua membuat perlemahan di dalam perekonomian negara maju tujuan ekspor,” jelasnya dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (17/4/2023). 

Sri Mulyani menegaskan perlu kewaspadaan dalam kondisi ini, karena bercermin kepada Vietnam yang sebelumnya dikatakan resilien, namun saat ini mulai terlihat pelemahan yang terjadi. 

Tercermin dari PMI manufaktur Vietnam yang masuk zona kontraksi si level 47,7 persen, sementara Indonesia masih ekspansif di level 51,9 persen. 

“Vietnam yang selama ini cukup resilien sekarang mengalami pukulan pelemahan dari PMI manufkatur, akibat pelemahan negara tujuan ekspor,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper