Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai negosiasi Indonesia dan China terkait besaran bunga pinjaman untuk kebutuhan pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) masih belum optimal, karena bunga masih cukup tinggi.
Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota MTI Aditya Dwi Laksana menilai tingkat bunga yang tengah didiskusikan antara Indonesia dan China pada rentang 3 persen – 3,4 persen masih terlalu tinggi untuk pinjaman proyek infrastruktur.
Aditya mengatakan, tingkat bunga pinjaman tersebut berpotensi membebani PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai operator KCJB dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai induk usaha.
“Kalau untuk pinjaman yang sifatnya infrastruktur publik angkanya (bunga pinjaman) masih terlalu tinggi seperti bunga perbankan komersial saat ini,” jelas Aditya saat dihubungi, Kamis (13/4/2023).
Aditya melanjutkan, pihak Indonesia juga tidak dapat menawar bunga yang terlalu rendah untuk pinjaman ini. Pasalnya, sejauh ini utang tersebut tidak dijamin pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Skema pinjaman ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan pinjaman yang ditarik Indonesia dari Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) untuk membangun MRT Jakarta. Aditya mengatakan, kala itu Indonesia mendapatkan bunga pinjaman sebesar 0,01 persen karena Jepang meminta adanya jaminan dari pemerintah.
Baca Juga
Di sisi lain, Indonesia juga tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena proses konstruksi KCJB telah berlangsung dan harus segera diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat. Menurutnya, pemerintah Indonesia harus tetap menegosiasikan besaran bunga pinjaman tersebut ke target awal, yakni sekitar 2 persen.
“Bunga pinjaman 2 persen juga sebenarnya masih cukup tinggi. Tetapi, karena ini tidak dijamin pemerintah jadi terbilang moderat,” imbuhnya.
Adapun, selain besaran bunga, Indonesia juga harus mencermati persyaratan pemberian pinjaman lainnya seperti waktu tenggang atau grace period. Menurutnya, rencana pemerintah Indonesia yang mengupayakan waktu tenggang selama 15 tahun sudah cukup baik.
Namun, menurutnya Indonesia wajib mengupayakan realisasi grace period untuk pokok dan bunga pinjaman. Dengan demikian, KCIC sebagai operator dapat mengumpulkan pendapatannya selama masa tenggang tersebut untuk kemudian membayarkan pokok dan bunga pinjaman.
“Grace period ini harus diupayakan oleh Indonesia. Kalau [waktu tenggang] hanya untuk pokok pinjaman, berarti saat perjanjian disahkan KCIC sudah harus bayar bunga,” imbuhnya.
Selanjutnya, Aditya mengatakan Indonesia juga dapat menegosiasikan durasi pinjaman atau tenor yang lebih panjang. Dia menuturkan, tenor yang disepakati selama 30 tahun dapat ditambah jika rencana perpanjangan konsesi direstui oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).