Bisnis.com, JAKARTA – Isu transaksi janggal Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan membuat isu-isu baru setelah masing-masing pihak yang terkait menjelaskan klaimnya. Informasi itu diungkapkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, Menkeu Sri Mulyani, dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.
Awalnya, Menko Polhukam Mahfud MD membuat ramai publik dengan pernyataan adanya transaksi mencurigakan di Kemenkeu pada awal Maret 2023.
"Akumulasi terhadap transaksi mencurigakan bergerak di sekitar Rp300 triliun, tetapi itu sejak 2009 karena laporan tidak di-update dan tidak diberi informasi atau respons," jelasnya, dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam, Rabu (8/3/32023).
Kemudian Kepala PPATK Ivan Yustiavandana membenarkan adanya transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan internal Kemenkeu senilai lebih dari Rp300 triliun dalam kurun waktu 14 tahun atau sejak 2009 hingga 2022.
"Iya [ada laporan transaksi mencurigakan hingga Rp300 triliun] terkait data yang sudah kami sampaikan hampir 200 informasi hasil analisis atau LHA kepada Kemenkeu sejak 2009-2023," ujar Ivan kepada Bisnis, dikutip Kamis (9/3/2023).
Setelah ketiga pihak bertemu, muncul pernyataan dari Mahfud bahwa transaksi tersebut dicurigai sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh pegawai Kemenkeu.
Baca Juga
Namun, Kepala PPATK Ivan justru menekankan bahwa transaksi tersebut menyangkut kepabeanan dan pajak yang berada di bawah Kemenkeu.
Di sisi lain, Sri Mulyani memperinci kepada DPR, bahwa temuan angka yang menyangkut langsung kepada pegawai Kemenkeu senilai Rp3,3 triliun selama 14 tahun, tidak sampai 1 persen nilainya dari angka yang diungkap oleh Mahfud.
Berikut klaim Menkeu Sri Mulyani, Menkopolhukam Mahfud MD, dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana soal transaksi janggal Rp349 triliun
1. Menkeu Sri Mulyani
Berdasarkan klaim terakhir versi Menkeu Sri Mulyani di depan Komisi XI DPR, dari 300 surat yang dirinya terima lima hari setelah isu mencuat, memang tertulis angka total transaksi senilai Rp349 triliun.
Meski demikian, setelah diteliti, 100 surat senilai Rp74 triliun tidak menyangkut kepabeanan, pajak, maupun Kemenkeu itu sendiri karena merujuk kepada aparat penegak hukum (APH) lainnya.
Sebanyak 65 surat dengan nilai tertinggi, yaitu Rp253 triliun, yang merupakan transaksi debit kredit operasional perusahaan dan korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu, namun memiliki hubungan dengan fungsi pajak dan bea cukai.
Perusahaan-perusahaan tersebut diketahui melakukan kegiatan perdagangan seperti ekspor impor, emas batangan, emas perhiasan, serta money changer.
Selain itu, terdapat 135 surat dengan nilai Rp22 triliun terkait tupoksi pegawai Kemenkeu. Adapun, dari nilai tersebut hanya Rp3,3 triliun yang benar-benar menyangkut nama pegawai kementerian yang dipimpin Sri Mulyani tersebut.
Sri Mulyani pun menegaskan transaksi ini merupakan permintaan dari Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu kepada PPATK untuk audit pegawai, bukan transaksi mencurigakan.
“Dibayangkan ada aliran dana mencurigakan padahal ini adalah permintaan dari Itjen, dan ternyata tidak ada [afiliasi dengan pegawai Kemenkeu],” katanya, Senin (27/3/2023).
Sementara untuk keseluruhan surat, Sri Mulyani memaparkan bahwa seluruhnya sudah ditindaklanjuti.