Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyebutkan impor pakaian bekas juga dilakukan beberapa pengusaha tekstil seperti sarung tangan dan celana, dimanfaatkan sebagai bahan daur ulang. Hal itu dilakukan seiring lesunya pasar, para pelaku pun terpaksa mengimpor limbah pakaian bekas.
Ketua Umum Apsyfi Redma Gita Wiraswasta menuturkan, menurunnya kinerja industri dalam negeri membuat beberapa pelaku industri tekstil, terutama produsen sarung tangan dan celana mengimpor bahan baku penolong yang memanfaatkan limbah pakaian bekas.
Hal itupun didorong kelesuan pasar yang terjadi sejak tahun lalu. Redma menyebutkan pelaku industri terpaksa mengimpor limbah pakaian dari luar negeri agar industri sarung tangan dan celana formal tetap bisa berjalan.
“Karena industrinya lagi slow down, limbah dari dalam negerinya minim sehingga mereka harus impor,” kata Redma saat dihubungi Bisnis pada Selasa (21/3/2023).
Importasi tersebut, kemudian dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai impor pakaian bekas dengan HS 63090000, bersamaan dengan pakaian bekas milik individu baik WNI maupun WNA yang masuk ke Indonesia melalui jasa pengiriman.
“Data impor pakaian bekas yang di BPS itu digunakan sebagai bahan baku benang,” tambah Redma.
Baca Juga
Lebih lanjut Redma menjelaskan, pakaian-pakaian bekas tersebut kemudian akan dicacah kembali di dalam negeri dan dipintal untuk kemudian menjadi benang yang menjadi bahan baku sarung tangan dan celana formal.
“Bentuknya masih pakaian bekas. Di sini dcacah, dijadikan benang lagi, untuk kemudian diproses jadi kain. Biasanya jadi sarung tangan. Kalau dari kain sisa potongan garmen benangnya bisa jadi kain bahan celana formal.” jelas Redma.
Setiap tahunnya, Redma menuturkan, industri dalam negeri membutuhkan setidaknya 10 ton pakaian bekas yang diimpor dari luar negeri dengan izin dan pengawasan khusus ini.
“Setiap tahun impor 10 Ton. Untuk impornya perlu izin dan pengawasan khusus karena yang diimpor termasuk kedalam kategori limbah,” pungkas Redma.
Seperti diberitakan Bisnis sebelumnya Kepala BPS Margo Yuwono menyebutkan, BPS memang mencatatkan ada impor pakaian bekas dan barang bekas lainnya yang tercatat sebagai HS 63090000, yang dikirim dari luar negeri melalui jasa pengiriman, dan merupakan barang milik perorangan.
Barang-barang tersebut merupakan barang yang pernah digunakan sebelumnya, atau barang dalam keadaan tidak baru. Namun, menurutnya, tidak termasuk dalam kategori impor ilegal barang bekas.
Selain milik pribadi, Margo juga menyebutkan, BPS juga mencatatkan impor pakaian bekas dalam HS 63090000 juga untuk dijadikan bahan baku penolong industri dalam negeri.
BPS mencatat impor pakaian bekas di Indonesia mencapai 26,22 ton sepanjang 2022. Nilainya mencapai US$272.146 atau setara dengan Rp4,21 miliar (asumsi kurs Rp15.468 per US$).
Adapun, volume impor pada 2022 tersebut melesat 227,75 persen dibandingkan volume pada 2021 yang mencapai 8 ton. Bila dilihat secara nilai impor, kenaikannya mencapai 518,5 persen dibandingkan 2021 yang mencapai US$44.000.