Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tengah memetakan potensi lapangan gas dengan kandungan propana dan butana (C3 & C4) besar atau rich gas untuk mendukung rencana investasi baru pada pengerjaan kilang liquefied petroleum gas (LPG) mendatang.
Komitmen itu diambil sebagai tindaklanjut dari surat yang sempat disampaikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji kepada Kepala SKK Migas pada 2021 lalu.
Adapun surat itu memiliki Nomor T- 6190/MG.03/DJM/2021, yang berisi permintaan data dan informasi potensi rich gas dari beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas (KKKS), sebagai potensi bahan baku kilang saat ini.
“Umumnya gas di Indonesia mempunyai tipe gas kering (lean gas), di mana kandungan metana [C1] lebih dari 90 persen,” kata Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdung Manaf kepada Bisnis, Jumat (17/3/2023).
Belakangan, SKK Migas mengidentifikasi terdapat sejumlah KKKS yang memiliki potensi produksi gas dengan kandungan C3 & C4 tinggi di antaranya Petrochina Jabung, Saka Pangkah, Petrogas dan operator di kawasan Kalimantan Timur seperti Pertamina Hulu Sanga-Sanga, Pertamina Hulu Mahakam hingga East Kalimantan-Attaka.
Adapun sejumlah KKKS itu memiliki rata-rata produksi gas di kisaran 5.000 ton hingga 580.000 ton setiap tahunnya. Rentang produksi itu, kata Nanang, mencerminkan sebaran potensi gas yang tidak merata di setiap kawasan.
Baca Juga
“Ukuran lapangan gasnya kan beda-beda, kalau Mahakam dulunya kan giant filed, sekarang saja produksinya sudah menurun, tapi masih relatif besar produksi gasnya,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian ESDM melaporkan kapasitas kilang LPG domestik setiap tahunnya mengalami penyusutan. Penurunan kapasitas pengolahan gas cair itu disebabkan karena berhentinya investasi serta operasi sejumlah kilang besar selama lima tahun terakhir.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan berhentinya operasi sejumlah kilang itu disebabkan karena pasokan bahan baku gas khusus untuk pengolahan LPG seperti C3 dan C4 relatif terbatas di Indonesia. Kendati, kata Arifin, cadangan gas dalam negeri terbilang melimpah saat ini.
“Sejauh ini kita belum ketemu sumber gas baru yang ada hidrokarbon beratnya, tapi kita lihat nanti apakah di lapangan baru ada apa enggak, kalau yang buru-buru keluar kan Train-3 [Tangguh], kalau yang di Jawa Timur masih lean gas,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Berdasarkan laporan Kinerja 2022 Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas), kapasitas pengolahan kilang LPG di Indonesia pada tahun lalu mencapai sebesar 3,78 juta ton per tahun. Torehan itu mengalami penurunan dari posisi tahun 2020 dan 2019 yang masing-masing mencatatkan capaian pengolahan sebesar 3,88 juta ton dan 4,74 juta ton.
Sementara, target produksi LPG sepanjang 2020 hingga 2024 dipatok di angka konservatif sebesar 1,97 juta ton setiap tahunnya.
Kementerian ESDM menyebutkan penurunan kapasitas pengolahan dan produksi LPG itu disebabkan karena berhentinya operasi kilang milik PT Yudistira Energi pada April 2021 lalu. Perusahaan pengolahan itu diketahui tidak melakukan perpanjangan izin usaha karena tidak mendapat kepastian pasokan bahan baku gas bumi dari hulu.
Selain itu, Kementerian ESDM juga baru menerima laporan ihwal berhentinya operasi Kilang LPG Pertamina Mundu sejak Mei 2016 lalu karena alasan yang sama. Laporan itu baru diterima kementerian pada 2021.
“Makanya kita harus cari yang lain alternatifnya untuk LPG, entah jargas, DME yang kita harapkan bisa jalan karena ini pakai kandungan lokal penuh kan kebanyakan,” kata dia.