Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah bank di Amerika Serikat (AS) mulai berguguran hanya dalam kurun waktu satu minggu, sebut saja Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank.
Meski demikian, ekonom melihat kondisi tersebut tak akan berdampak besar terhadap ekonomi Indonesia karena posisi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibanding krisis keuangan pada 15 tahun silam atau pada 2008.
“Dibandingkan dengan kasus 2008, saya rasa jauh lebih mengerikan 2008 karena saat itu mainnya bank yang besar,” ujar Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro saat ditemui di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Andry menjelaskan bahwa kondisi saat ini Indonesia cukup kuat karena posisi kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) hingga akhir 2022 didominasi oleh investor domestik.
Tercatat kepemilkan asing pada SBN hanya sebesar 14,5 persen dari total surat utang. Artinya ekonomi Indonesia tidak akan terlalu terguncang bila membandingkan dengan kondisi 2008 di mana posisi SBN sekitar 35 persen dimiliki asing.
“Ada power dari domestic investor apalagi sekarang kepemilikan asing tinggal 14 persen dari tahun lalu, volatilitas ini harusnya nggak bikin kemudian surat utang kita keluar langsung tinggi,” jelasnya.
Baca Juga
Meski SVB tidak terlalu besar dan berfokus pada modal ventura bagi perusahaan rintisan, namun cukup mengguncang ekonomi AS karena runtuhnya SVB diikuti oleh Signature Bank.
Lebih lanjut, Andry menjelaskan dari kondisi tersebut memberikan dampak dolar melemah dan rupiah yang justru menguat.
Hal tersebut karena adanya ekspektasi dari gugurnya SVB di dunia perbankan akan membuat Federal Reserve atau The Fed tidak akan menaikkan suku bunga lagi secara agresif.
Di sisi lain, investasi langsung dari Amerika ke Indonesia juga relatif kecil. Terlebih sangat sedikit modal ventura (venture capital/VC) Indonesia yang melakukan investasi di AS terhadap perusahaan rintisan atau startup.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa kepemilkan asing dalam SBN semakin menurun namun tak menghentikan minat asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Pada Maret 2023, Menkeu memaparkan dengan membaiknya indikator pasar keuangan, seperti inflasi Indonesia yang lebih baik dan volatilitas pasar keuangan yang mulai mereda, mendorong asing untuk masuk ke pasar obligasi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data dalam APBN Kita, per 10 Maret 2023 kepemilikan asing pada SBN mencapai 14,61 persen.
Tercatat, outflow surat berharga negara (SBN) pada Februari 2023 sebesar Rp7,57 triliun sedangkan Maret sebesar Rp8,16 triliun.
Perbankan dan Bank Indonesia (BI) mendominasi kepemilikan SBN masing-masing 24,5 persen dan 26,2 persen, sementara porsi kepemilikan asing menurun sejak akhir 2020 (25,2 persen) kini menjadi 14,61 persen.