Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri tekstil menghadapi tantangan dari dua arah sekaligus, pasar ekspor melemah seiring negara tujuan dibelit krisis dan pasar domestik yang dibanjiri produk impor ilegal.
Tercatat, penurunan permintaan ekspor telah memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil sejak kuartal III/2022 lalu hingga kini masih berlanjut.
Selain itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta, para pelaku usaha juga harus menghadapi penuhnya pasar dalam negeri oleh produk impor.
Menurut Redma, ketika produk industri dalam negeri tak lagi bisa mengandalkan pasar global, seharusnya pasar domestik sebagai substitusi. Namun pada kenyataannya, pasar domestik tengah sesak oleh produk impor, ditambah produk pakaian bekas ilegal yang didatangkan dari luar negeri.
“Ketika yang ekspor terganggu karena pasar, seharusnya mereka mengalihkan ke pasar domestik, tapi kan pasar domestiknya sudah penuh sama yang impor, jadi nggak bisa juga,” kata Redma saat dihubungi Bisnis pada Senin (6/3/2023).
Lebih lanjut Redma menjelaskan, hal inilah yang membuat gelombang PHK merebak dan belum usai hingga kini.
Baca Juga
“PHK itu bukan hanya dipicu melemahnya ekspor tapi yang orientasi domestik juga sama,” tambahnya.
Redma menilai jatuhnya pasar tekstil domestik maupun impor berimbas ke seluruh rantai produksi tekstil. Penurunan permintaan ekspor terjadi sejak kuartal II/2022, yang membuat pelaku industri di hilir termasuk pengusaha industri menengah kecil (IKM) menyetop produksi.
Menurut Redma, ketika industri tekstil yang berorientasi ekspor tersebut berhenti beroperasi, maka industri tekstil sektor hulu akan kehilangan pembeli. Akhirnya, PHK juga dilakukan di sektor ini, meskipun orientasinya adalah pasar domestik.
“Yang biasanya IKM beli bahan baku, sekarang jadi gak beli bahan baku, nah itu terdampak dari situ domestiknya,” kata Redma.
Padahal seharusnya, menurut Redma IKM yang berorientasi ekspor bisa mengalihkan penjualannya ke pasar domestik, jika saja pasar domestik tidak dikuasai oleh produk impor.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa menyebutkan pada pertengahan November 2022 lalu, angka pengurangan tenaga kerja di industri garmen lebih dari 79.316 orang.
Gelombang pemangkasan karyawan tersebut, diperkirakan masih akan berlanjut. Bahkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap data jumlah kasus PHK dari semua industri sepanjang tahun 2022 lalu mendekati angka 1 juta kasus.