Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia sempat beberapa kali bentrok dengan garis kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO/World Trade Organization), di antaranya terkait proyek mobnas era Orde Baru. Kini, Indonesia kembali bentrok di level WTO setelah berseteru dengan Uni Eropa terkait larangan ekspor mineral.
Keinginan Presiden Joko Widodo yang bersikukuh untuk menyetop ekspor bahan mentah menuai kecaman dari banyak negara Eropa. Banyak dari mereka bergantung terhadap pasokan bahan mentah asal Indonesia, seperti nikel hingga bauksit.
Hal ini bermula saat Indonesia memutuskan untuk berhenti mengekspor nikel yang dimulai pada 2020 lalu. Uni Eropa gerah dengan kebijakan tersebut, sehingga melaporkan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada awal 2021 lalu.
Gugatan tersebut berujung Indonesia yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592 melalui laporan final panel pada 17 Oktober 2022 lalu.
Dalam hal ini, pemerintah kemudian mengajukan permohonan banding atas putusan panel WTO yang menyatakan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel domestik melanggar ketentuan perdagangan internasional.
Pemberitahuan banding itu disampaikan bersamaan dengan pengajuan banding kepada Sekretariat Badan Banding atau Appellate Body Secretariat.
Baca Juga
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut, Indonesia akan tetap pada prinsip ini, bahkan jika dinyatakan kalah kembali usai banding.
“Kalah jangan mundur, kalau kita kalah jangan belok lagi, jangan ekspor lagi, ya banding, kalau banding lagi kalah, ada kesempatan banding lagi,” kata Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Workshop Nasional Partai Amanat Nasional (PAN), pada Minggu (26/2/2023).
Menurut Presiden Jokowi, Indonesia tidak akan menjajaki status negara maju jika hal ini tidak dilakukan dengan keseriusan. Pasalnya, Jokowi melihat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam hal menciptakan produk turunan produksi baterai kendaraan listrik.
Lalu, selama proses banding ini lah, pengembangan hilirisasi dalam negeri akan terus digenjot. “Saat kita kalah, banding, banding, industri kita sudah siap, kalau dibuka, industri kita sudah siap,” tambahnya.
Meskipun, proses banding itu dipastikan berjalan lambat lantaran kekosongan hakim uji pada badan banding atau Appellate Body WTO saat ini.
Appellate Body sebagai pengadilan banding sistem penyelesaian WTO sejak 2019 tidak lagi efektif menyelesaikan sengketa antar negara lantaran kekosongan hakim uji dan pemblokiran atas penunjukan hakim baru oleh Amerika Serikat.