Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mengajukan gugatan atas kebijakan bea masuk antidumping Uni Eropa untuk produk turunan nikel kadar tinggi, baja nirkarat, atau stainless steel ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pekan ini.
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto mengatakan, pemerintah berupaya untuk mengajukan banding atas kebijakan perdagangan yang protektif dari Uni Eropa atas produk hasil hilirisasi mineral logam tersebut.
“Jadi kemarin di Eropa kita akhirnya memasukkan gugatan ke WTO, mereka menerapkan antidumping ini kita anggap tidak sah,” kata Seto dalam Energy & Mining Outlook 2023 di Jakarta, Kamis (23/2/2023).
Melansir Reuters, Uni Eropa menerapkan kebijakan anti subsidi 21 persen atas impor produk Cold Rolled Stainless Steel (CRS) dari Indonesia, yang relatif tinggi dari besaran bea masuk antidumping pada November 2021 di kisaran 10,2 persen hingga 20,2 persen.
Saat penerapan awal bea masuk antidumping CRS dari Indonesia itu, pengapalan dari Indonesia menuju Eropa turun ke level US$229 juta pada akhir 2021 lalu.
“Semakin ke hilir itu produk-produk yang kita produksi itu banyak mengalami tantangan dari sisi hambatan perdagangan,” kata dia.
Baca Juga
Malahan, dia menambahkan, pemerintah telah melayani sejumlah investigasi antidumping dari beberapa mitra dagang lainnya, seperti India dan Malaysia untuk turunan baja nirkarat tersebut.
“Kita nggak bisa diam-diam saja dikenakan antidumping, segala macam, karena banyak negara berkembang yang sifatnya seperti itu, menurut saya jangan,” tuturnya.
Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menggodok kebijakan moratorium investasi baru pembangunan pabrik pirometalurgi rotary kiln-electric furnace (RKEF) yang menjadi lini pengolahan bijih nikel kadar tinggi atau saprolite.
“Yang moratorium RKEF itu sedang kami evaluasi, tunggu saja karena kami ingin juga,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (21/11/2022).
Arifin mengatakan, langkah moratorium itu diambil untuk mengimbangi permintaan saprolite yang tinggi dari pabrik pengolahan stainless steel, sementara cadangan bijih nikel kadar tinggi itu relatif terbatas.
Selain itu, dia mengatakan, nilai tambah untuk pengolahan nikel kadar tinggi menjadi baja relatif kecil jika dibandingkan dengan turunan baterai kendaraan listrik yang diperoleh sebagian besar dari bijih nikel kadar rendah atau limonite.
“Nilai tambahnya tidak banyak juga kan di pig iron itu,” kata Arifin.
Adapun, pengolahan bijih nikel dengan teknologi RKEF ini pada umumnya menghasilkan produk olahan nikel kelas dua berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) untuk kemudian dibuat menjadi stainless steel.