Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Syamsul Bahri Siregar

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Strategi Mencegah Sengketa Nikel di WTO Terulang

Kebijakan pembatasan kuantitatif yang membatasi volume ekspor dikategorikan dalam kebijakan hambatan ekspor.
Briket nikel di fasilitas pengolahan komoditas tersebut di Australia./Bloomberg-Philip Gostelow
Briket nikel di fasilitas pengolahan komoditas tersebut di Australia./Bloomberg-Philip Gostelow

Bisnis.com, JAKARTA - Kasus sengketa Kebijakan Nikel Indonesia yang digugat Uni Eropa terdaftar pada Dispute Settlement (DS 592) di WTO. Dalil gugatan yang digunakan Uni Eropa atas kebijakan Pelarangan Ekspor Bijih Nikel dan Bijih Besi serta Persyaratan Pemerosesan dalam negeri Indonesia adalah Pasal XI:1 GATT/WTO.

Pasal ini secara jelas melarang negara anggota WTO untuk melakukan pembatasan kuantitatif terhadap produk impor atau ekspornya, kecuali dilakukan dengan mengenakan tarif bea masuk, pajak atau bea lainnya.

Regulasi Nasional yang terkait pembatasan atau pelarangan ekspor, kewajiban pengolahan/pemurnian didalam negeri dan peningkatan nilai tambah produk mineral yang digugat EU ini terkait dengan: UU Minerba; PermenESDM No. 7/2012 sebagaimana diubah oleh PermenESDM No. 11/2012 dan PermenESDM No. 20/2013; PermenESDM No. 1/2014; PermenESDM No. 25/2018 sebagaimana telah diubah oleh PermenESDM No. 50/2018 dan PermenESDM No. 11/2019; PermenESDM No. 1/2017; Permendag No. 96/2019.

Pada 30 November 2022, laporan panel DS592 telah disirkulasikan kepada Anggota WTO. Panel memberikan kesimpulan kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pemasaran dalam negeri yang di didalilkan oleh Indonesia dengan alasan sifat kebijakannya sementara dalam rangka menjaga keterbatasan bahan baku sebagaimana diatur pada pasal XI;2 dan kebijakan tersebut dibenarkan oleh pasal pengecualian XX(d) GATT merupakan hambatan yang telah membatasi ekspor.

Karena itu, panel menyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pemasaran didalam negeri tersebut tidak sesuai dengan Pasal XI:1 GATT. Kesimpulannya Panel mengeluarkan rekomendasi agar Indonesia menyesuaikan kebijakannya dengan ketentuan dan aturan main di WTO.

Kebijakan pembatasan kuantitatif yang membatasi volume ekspor dikategorikan dalam kebijakan hambatan ekspor. Pembatasan kuantitatif ini dianggap menciptakan dampak perlindungan yang lebih protektif dibanding bila kebijakannya dilakukan dengan cara mengenakan tarif bea masuk. Karena kebijakan Pembatasan kuantitatif dianggap berdampak mendistorsi perdagangan, maka kebijakan tersebut menjadi salah satu prinsip dasar aturan main di WTO.

Alasan lain yaitu pada saat suatu negara menerapkan pembatasan kuantitatif, negara anggota WTO lain tidak dapat mengekspor ke negara yang menerapkan kuota, bila telah melebihi kuota yang ditetapkan walaupun harga produk ekspor tersebut sangat kompetitif di pasar yang menerapkan kuota tersebut.

Walaupun kebijakan hambatan ekspor dilarang, namun sebenarnya WTO juga menyediakan pasal pengeculian yang justru aturan pasal pengecualiannya jauh lebih banyak dari pelarangan yang ditetapkan di Pasal XI:1 GATT 1994.

Rekomendasi Panel Sengketa Nikel sudah harus menjadi pelajaran bagi kita untuk berupaya menghindari penerapan kebijakan yang serupa tanpa memperhatikan secara detail penjelasan pasal-pasal pengecualian di WTO yang mengizinkan suatu negara melakukan pembatasan kuantitatif.

Masih banyak pasal pengecualian di WTO yang dapat digunakan sebagai konsideran pokok dalam menerapkan pelarangan ekspor atau impor, seperti ; Pertama, Pasal XI:2(a) GATT 1994 yaitu pembatasan atau pelarangan ekspor yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kelangkaan produk pangan atau produk pokok dari negara pengekspor, namun harus bersifat sementara.

Sifat sementara ini umumnya diberlakukan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun dan harus dinotifikasikan dengan menyertakan justifikasi yang jelas dan valid.

Kedua, Pasal XX, Pengecualian umum untuk melindungi moral publik atau melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan. Ketiga, Pasal XXI, Pengecualian untuk alasan keamanan. Keempat, Pasal XII, Pembatasan untuk menjaga neraca pembayaran; Kelima, Pasal XVIII: B tentang negara berkembang Anggota WTO pada tahap awal pembangunan ekonomi; Keenam, Pasal XVIII:C dan D, Pembatasan kuantitatif yang diperlukan untuk pembangunan industri tertentu oleh Anggota WTO pada tahap awal pembangunan ekonominya atau dalam situasi tertentu lainnya.

Ketujuh, Pasal XIX, pembatasan kuantitatif yang diperlukan untuk mencegah peningkatan impor yang menyebabkan ancaman kerugian bagi produsen didalam negeri atau untuk mengurangi beban produsen yang dirugikan akibat kerugian impor tersebut. Kedelapan, Pembatasan kuantitatif yang diberlakukan sesuai dengan a specific waiver yang diputuskan oleh Konferensi Tingkat Menteri Khusus di WTO.

Hampir dapat dipastikan, apabila konsideran pengeculian diatas tidak tertuang dalam materi pokok peraturan pelarangan ekspor atau, maka akan sulit mempertahankan kebijakan tersebut apabila digugat kembali oleh negara anggota WTO. Karena itu dalam merancang Peraturan maka seluruh instansi terkait seyogyanya mempunyai kesamaan pandangan bahwa Pembatasan kuantitatif merupakan hambatan yang tidak diperkenankan dalam aturan WTO sesuai Pasal XI:1 GATT.

Salah satu pendekatan kebijakan yang perlu segera dicermati adalah kembali menggunakan instrumen pengenaan pajak ekspor terhadap produk dalam negeri yang tergolong produk strategis agar pertumbuhan ekonomi nasional sebagaimana diharapkan dapat tercapai.

Formulasi Pajak ekspor dan instrumen fiskal lainnya semestinya dapat disimulasikan untuk mencapai target kebijakan hilirisasi yang digaungkan Pemerintah karena berkontribusinya signifikan terhadap perekonomian nasional. Pajak Ekspor tidak diatur secara langsung oleh WTO, dan dapat diizinkan dalam siituasi dan keadaan tertentu. Hampir sepertiga Anggota WTO menggunakan instrumen pajak ekspor, dan Indonesia telah berpengalaman menerapkannya, dengan tujuan membatasi jumlah ekspor yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan nilai tambah produk tersebut didalam negeri serta menjadi sumber pendapat negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper