Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Investasi memastikan pasir silika atau kuarsa yang menjadi bagian dari himpunan mineral bukan logam belum menjadi prioritas untuk dikenakan larangan ekspor pertengahan tahun ini.
Deputi Promosi Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan mengatakan, pemerintah belum melihat urgensi untuk segera menyetop ekspor pasir kuarsa itu jika dibanding dengan mineral logam lainnya, seperti bauksit hingga timah dalam waktu dekat.
“[Larangan ekspor silika] belum pasti tahun ini, pasir silika kan kemampuan dari negara-negara lain juga cukup besar kita cukup juga tapi bukan yang terbesar,” kata Nurul saat ditemui di DPR RI, Selasa (7/2/2023).
Kendati demikian, Nurul mengatakan, kementeriannya terus mendorong peningkatan investasi di sisi manufaktur atau penghiliran pasir kuarsa di sejumlah daerah tambang utama seperti Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan sebagian Kalimantan Timur.
Misalkan, dia mencontohkan, baru-baru ini terdapat tiga investor asal China dan Korea Selatan yang telah menunjukkan komitmen investasi yang besar untuk masuk pada penghiliran silika menjadi kaca. Hanya saja, dia enggan membeberkan besaran komitmen investasi yang sudah dibuat tiga pabrikan asal China dan Korea Selatan tersebut.
Saat ini, kata dia, kementeriannya tengah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyiapkan lahan minimal 200 hektare untuk pembangunan industri terintegrasi turunan pasir kuarsa tersebut.
Baca Juga
“Ini dia sudah pasti masuk ke Indonesia, memanfaatkan silika untuk bikin kaca, kalau tambang bisa disuplai kawan-kawan pemilik tambang di daerah,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) getol untuk mendorong moratorium ekspor pasir kuarsa dalam waktu dekat. Kemenperin berkepentingan untuk mengamankan investasi semikonduktor yang masuk lewat perusahaan Amerika Serikat (AS).
Rencana itu disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (9/11/2022).
"Diskusi ke arah sana masih dalam kerangka Indo-Pacific Economic Framework [IPEF]. Mereka [AS] tertarik, mereka akan follow up. Mudah-mudahan [investasinya] dalam waktu dekat," kata Taufiek.
Belum lama ini, lanjut Taufiek, Indonesia melakukan lobi ke produsen semikonduktor asal Amerika Serikat. Indonesia, katanya, menawarkan stok pasir silika yang bisa digunakan sebagai material pembuat semikonduktor.
Lobi tersebut juga melibatkan organisasi bilateral antara RI-AS, The United States - Indonesia Society (Usindo). Sebagai informasi, Usindo merupakan organisasi bilateral RI-AS yang bertujuan memperkuat hubungan kedua negara, termasuk di sektor ekonomi.
"Setelah ini didiskusikan dalam Usindo. Jadi, pengusaha AS didorong untuk mem-follow up proyek kita. Bahwa kita harus punya satu desain center semikonduktor dan pabriknya," tuturnya.
Belum diketahui potensi nilai investasi yang bisa diraup oleh Indonesia dari Amerika Serikat di industri semikonduktor. Namun, sebagai gambaran, tahun lalu PT Infineon Technologi Batam berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia senilai Rp1,3 triliun, dengan kapasitas produksi sebanyak 150 juta pcs per pekan pada 2030.
Lebih jauh, Taufiek mengatakan, pendekatan Indonesia kepada investor 'Negeri Paman Sam' dipicu terganggunya rantai pasok semikonduktor global akibat perang. Hal ini semakin rentan dengan ketegangan politik China-Taiwan.
"Untuk mobil listrik, semakin canggih butuh lebih banyak semikonduktor. Tapi, sekarang karena masalah geopolitik suplai semikonduktor lambat," ujarnya.