Bisnis.com, JAKARTA - Konsultan properti Indonesia, Jones Lang LaSalle (JLL) melihat penerapan green building, termasuk penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap masih minim di sektor perumahan.
Padahal, berdasarkan data JLL pada 2022, sektor properti menyumbang sekitar 40 persen emisi karbon secara global. Penggunaan PLTS atap tentunya dapat menjadi stimulus untuk mewujudkan target nol emisi karbon pada 2060 di Indonesia.
Sustainability Lead JLL Indonesia Prisca Winata mengatakan, penggunaan PLTS atap merupakan salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan energi konvensional dengan menggunakan sumber energi terbarukan.
"Saat ini, secara general investasi pada bangunan hijau atau ramah lingkungan lebih tinggi sekitar 10-20 persen, tergantung pada building grade, material, teknologi, dan lainnya," kata Prisca kepada Bisnis, dikutip Senin (23/1/2023).
Menurutnya, PLTS atap menjadi satu dari sekian elemen yang dapat berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon di sektor properti. Namun, di sisi lain, penggunaan material yang ramah lingkungan juga berkontribusi besar terhadap emisi karbon.
Pihaknya melihat penerapan PLTS atap di sektor perumahan masih minim dibandingkan dengan subsektor perkantoran. Padahal, penggunaan PLTS atap disebut dapat menekan biaya operasional hingga 20-30 persen.
Baca Juga
"Namun, bangunan ramah lingkungan menghasilkan biaya operasional yang lebih rendah 20-30 persen dibandingkan dengan biaya operasional bangunan konvensional," terangnya.
Apalagi dengan adanya dorongan dari pemerintah dan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060, dia menilai ke depannya tren pemasangan PLTS atap kemungkinan akan mengalami peningkatan.
Namun, untuk memasifkannya perlu integrasi dengan sistem listrik kawasan dan peluang untuk skema insentif untuk mendorong penggunaan PLTS lebih luas.
Di samping itu, Prisca memberikan catatan kepada pengembang dalam implementasi PLTS atap, di antaranya terkait lokasi pemasangan atap tidak terhalang oleh bayangan gedung sekitar sehingga penyerapan tenaga surya dapat maksimal.
"Dibutuhkan perhitungan konsumsi energi bangunan terlebih dahulu untuk menentukan kapasitas PLTS yang optimum," jelasnya.
Head of Research JLL Indonesia Yunus Karim mengatakan, segmen residensial saat ini masih mengutamakan faktor lokasi, aksesibilitas, dan keterjangkauan harga dalam pemilihan produk residensial, berbeda dengan segmen industri dan korporasi.
Untuk diketahui, perkantoran di Jakarta yang memiliki luas 10 juta meter persegi, sebanyak 1,9 juta meter persegi merupakan kantor berkonsep green building. Pada kuartal II/2022, sebanyak 42 persen gedung perkantoran grade A telah memperoleh sertifikasi hijau.
Sebelumnya, Direktur ATW Solar Residensial Chairiman menuturkan, pemasangan PLTS atap di sektor perumahan masih terhambat biaya yang cukup tinggi. Terlebih segmen residensial berbeda dengan segmen korporasi dan industri yang memiliki kesadaran tinggi dan tuntutan global untuk penggunaan panel surya.
Sebagai gambaran, investasi awal yang harus dikucurkan masyarakat untuk memasang panel surya di ATW adalah berkisar Rp20 juta. Dengan besaran investasi yang harus dikeluarkan tersebut, penghematan tagihan listrik yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah sebesar Rp200.000 hingga Rp300.000.
Sementara untuk pemasangan panel surya dengan baterai lithium, bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dari pemasangan panel surya biasa. Namun, pihaknya membidik 500-1.000 atap rumah per tahun untuk memasang panel surya.