Bisnis.com, JAKARTA — Manuver pemerintah yang ingin menghapus mekanisme ekspor listrik dalam pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dianggap bertentangan dengan komitmen besar transisi energi secara masif di tengah masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan, usulan pemerintah itu justru bakal mengerek biaya investasi serta operasi PLTS atap di pasar rumah tangga dan sosial. Konsekuensinya, investasi pemasangan panel surya menjadi tidak menarik untuk pasar residensial atau bisnis kecil dan menengah.
Lewat penghapusan skema ekspor listrik itu, pelanggan yang memiliki kapasitas berlebih dari pemasangan PLTS tidak lagi dapat menjual daya sisa ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebagai pengurangan tagihan listrik mereka.
“PLTS atap untuk pelanggan residensial dan bisnis kecil menjadi tidak layak keekonomiannya karena pelanggan tegangan itu konsumsinya lebih banyak di malam hari bukan di siang hari,” kata Fabby saat dihubungi, Senin (16/1/2023).
Berdasarkan hitung-hitungan AESI, minimal pemasangan PLTS untuk pelanggan residensial dan bisnis kecil berada di kisaran 1,5 kilowatt peak (kWp) sampai 2 kWp. Batas bawah pemasangan PLTS itu menghasilkan daya mencapai 6 kilowatt hour (kWh) sampai 8 kWh.
Biasanya rata-rata pemakaian efektif PLTS atap di Indonesia hanya di kisaran 40 persen. Sisanya, daya yang dihasilkan mesti diekspor ke jaringan PLN. Hitung-hitungan itu membuat pemasangan PLTS untuk pelanggan residensial dan bisnis kecil tidak menarik. Apalagi akses untuk menjual kembali daya berlebih ke sistem jaringan PLN rencananya akan ditutup.
Baca Juga
Sebelumnya, Kementerian ESDM sempat melakukan public hearing bersama dengan pengembang, pemasang dan pemangku kepentingan panel surya lainnya terkait dengan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum pada Jumat (6/1/2023) lalu.
Lewat pertemuan itu, Kementerian ESDM mengusulkan sejumlah perubahan substansial di antaranya tidak adanya pembatasan kapasitas PLTS atap maksimal 100 persen yang diganti lewat skema kuota sistem. Lalu, ekspor listrik ditiadakan sebagai pengurang tagihan listrik. Selain itu, biaya kapasitas untuk pelanggan industri dihapuskan dan aturan peralihan untuk pelanggan eksisting diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.
“Ketiadaan net-metering akan membunuh potensi PLTS atap di konsumen rumah tangga dan sosial,” kata Fabby.
Apalagi, dia mengatakan, potensi pemasangan PLTS atap untuk segmen pelanggan dengan penggunaan daya listrik rentang 2.200 volt ampere (VA) hingga 6.600 VA ke atas cukup prospektif.
Mengutip laporan Kementerian ESDM, jumlah keseluruhan pengguna golongan tarif itu mencapai 5,45 juta pelanggan. Rerata konsumsi listrik pelanggan 2.200 VA sampai 6.600 VA ke atas terentang dari 283 kWh hingga 1.359 kWh setiap pelanggan per bulannya.
Adapun, jumlah pelanggan rumah tangga golongan itu mengambil porsi hampir 30,2 persen dari keseluruhan penerima manfaat kompensasi listrik.
“Sebenarnya mereka berpotensi untuk memasang PLTS Atap, dengan ditiadakannya net-metering susah mereka, sedikit mungkin yang mau,” kata dia.