Bisnis.com, JAKARTA – Komisi VII DPR RI menilai perlu adanya bentuk insentif lain yang diberikan kepada pengguna pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, seiring adanya wacana penghapusan kebijakan ekspor listrik ke PT PLN (Persero) dalam revisi Peraturan Menteri ESDM No.26/2021.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menjelaskan, skema ekspor listrik sebagai pengurang biaya tagihan pelanggan PLN yang memasang PLTS atap dapat membebani kinerja PLN yang mengalami kelebihan pasokan listrik atau over supply.
Oleh karena itu, muncul wacana untuk menghapuskan skema tersebut dalam revisi Permen ESDM No.26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Namun, di sisi lain, revisi tersebut juga sedikit merugikan pengguna PLTS atap di segmen rumah tangga. Menurutnya, perlu ada jalan tengah agar PLTS atap bisa berkembang dengan lebih masif dan tak hanya menyasar sektor industri tetapi juga bisa menyasar sektor rumah tangga. Salah satunya adalah dengan insentif lain dalam bentuk menurunkan harga jual PLTS atap kepada konsumen.
“Perlu dipikirkan insentif bentuk lain, misalnya insentif pajak terhadap pembelian PLTS atap. Dengan harga ekonomis agar PLTS bisa menjadi primadona baru yang berkembang cepat dan tak mengandalkan ekspor listrik ke PLN,” ujarnya, Sabtu (21/1/2023).
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyono memaparkan sejumlah substansi utama dalam revisi Permen ESDM No.26/2021. Poin pertama dalam materi revisi beleid tersebut adalah terkait dengan kapasitas yang semula paling tinggi sebesar 100 persen dari daya langganan menjadi tidak ada batasan kapasitas per pelanggan. Dengan syarat sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS atap.
Baca Juga
Kemudian, poin kedua adalah ekspor listrik yang semula sebagai pengurang tagihan menjadi tidak dihitung sebagai pengurang tagihan. Lalu, poin ketiga adalah biaya kapasitas yang semula diberlakukan untuk pelanggan golongan industri ditiadakan. Poin terakhir, yakni bagi pelanggan existing selanjutnya akan mengikuti Permen baru setelah berakhirnya kontrak atau tercapainya payback period paling lama 10 tahun.
"Dari empat poin materi revisi Permen tersebut, pembahasan terkait dengan poin pertama belum dilakukan pembahasan. Namun, terkait dengan poin pertama dan ketiga masih memerlukan pendalaman lebih lanjut," kata Mulyono.
Khusus untuk poin kedua, dia tak menampik akan menjadi kurang menguntungkan bagi pelanggan. Namun, kalau tidak dilakukan bisa membebani kondisi surplus listrik PLN. Pasalnya, kondisi tersebut bisa mendorong industri memasang tambahan daya baru di luar pembangkit PLN.
Secara keseluruhan, dia menilai justru dengan adanya revisi Permen, ditujukan untuk percepatan implementasi program PLTS atap Nasional. Selain itu, juga memberikan kesempatan bagi konsumen untuk memasang PLTS atap tanpa batasan kapasitas sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS Atap.