Bisnis.com, JAKARTA – Program Tol Laut 2023 sudah resmi dimulai dengan ditargetkan melayani 39 trayek. Kendati sudah berumur sekitar tujuh tahun, program andalan Presiden Joko Widodo ini masih menghadapi beberapa kendala sebelum bisa memberi dampak yang lebih besar kepada penurunan harga barang di seluruh Indonesia.
Menurut pengamat maritim Saut Gurning, kendala utama yang terjadi bagi program Tol Laut masih berkisar pada frekuensi layanan kapal yang belum maksimal, akibat faktor cuaca dan kesiapan (readiness) kapal.
Tidak hanya itu, dia juga menyebut ketersediaan (availability) ruang kapal, kontainer kering, dan kontainer berpendingin juga masih menjadi kendala bagi program strategis pemerintah itu.
Di sisi lain, ketimpangan antara muatan berangkat dan balik juga dinilai masih perlu diperhatikan. Namun, Saut menilai usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan muatan balik telah membuahkan hasil.
"Usaha kargo balik, terus membaik atau meningkat karena informasi komoditas atau produk yang dimiliki berbagai rute Tol Laut di wilayah rural Indonesia tersebut yang semakin dikenal pedagang nasional bahkan internasional," jelasnya, Kamis (5/1/2023).
Menurutnya, dorongan perdagangan domestik yang semakin kuat tahun ini di tengah ketidakpastian permintaan komoditas ke pasar luar negeri, bakal mendorong potensi eksplorasi perdagangan antarpulau. Hal tersebut, terang Saut, menjadi nilai plus bagi Tol Laut.
Baca Juga
Namun, dia mendorong agar upaya memperkuat kargo balik (backward trips) terus diperkuat, baik lewat kemampuan konsolidasi di daerah, peningkatan nilai tambah komoditas, maupun dukungan instrumen digitalisasi untuk membantu interaksi pasar komoditas khususnya bagi potensi domestik.
"Khususnya produk perikanan tangkap, perikanan budidaya termasuk rumput laut, peternakan dan bahan galian atau tambang," lanjutnya.
Akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tersebut menilai dampak penurunan harga berkat Tol Laut tetap terjadi khususnya di wilayah Indonesia Timur, dan juga wilayah Indonesia Barat.
Realisasi penurunan barang, lanjut Saut, masih tetap terjadi di sembilan wilayah seperti yang terjadi hingga semester I/2022. Daerah-daerah itu, tuturnya, secara faktual menikmati harga barang yang lebih murah, ketimbang daerah yang tidak dilayani program Tol Laut.
Dia mencontohkan daerah-daerah seperti Natuna, dan Anambas di Sumatera; Rote Ndao di NTT; Tidore dan Halmahera Timur serta Halmahera Utara di Maluku Utara; Kabupaten Buru termasuk Buru Elatab di Maluku; lalu Supriori dan Fakfak di Papua serta Papua Barat.
"Variasa penurunan dalam rentang 15-45 persen. Namun lebih dominan atau modusnya ke angka 15 persen," tutupnya.
Di sisi lain, berdasarkan data Kemenhub, hingga pertengahan Desember 2022, muatan berangkat angkutan Tol Laut di total 33 trayek yang dilayani mencapai 20.000 twenty-foot equivalent per units atau TEUs. Akan tetapi, muatan baliknya baru mencapai 6.600 TEUs.
Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub Arif Toha pun Arif pun tak menampik bahwa mengatasi ketimpangan antara muatan berangkat dan balik akan membutuhkan dukungan lintas kementerian/lembaga. Dia menyebut perlunya kolaborasi dan sinergi antara dengan BUMN sekaligus peranan pemerintah daerah.
"Kami sangat berharap dengan adanya peranan Pemda maka diharapkan dapat meningkatkan muatan balik berupa produk unggulan daerahnya masing-masing sehingga kedepan dapat membantu mengurangi biaya operasional kapal tol laut," tuturnya, Kamis (5/1/2023).