Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dan otoritas keuangan mewanti-wanti gejolak ekonomi masih akan terus berlanjut pada tahun depan, disertai dengan ketidakpastian yang sangat tinggi. Ini peringatan ancaman resesi 2023 dari Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Perry Warjiyo.
Perekonomian dunia diperkirakan tumbuh melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun ini, terutama disebabkan oleh perlambatan sejumlah negara utama, misalnya Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.
Risiko resesi ekonomi di beberapa negara tersebut bahkan meningkat, sejalan dengan pengetatan kebijakan moneter yang sangat agresif untuk merespons lonjakan inflasi.
Kebijakan moneter secara agresif, terutama kenaikan suku bunga, mengancam perlambatan ekonomi di negara maju. Hal ini juga memberikan dampak bagi perekonomian negara berkembang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa kenaikan suku bunga negara maju terutama The Fed, bank sentral Amerika Serikat, diperkirakan akan tetap berlanjut pada tahun depan.
“Inflasi di negara maju masih relatif dalam situasi yang tinggi, sehingga kita lihat respons kebijakan moneter dengan kebijakan suku bunga yang ekstrem dan cepat dilakukan oleh negara-negara maju,” katanya beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan bahwa The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 425 basis poin sepanjang tahun ini, yaitu ke level 4,25-4,50 persen.
Menurutnya, kenaikan tersebut merupakan level tercepat dan tertinggi dalam sejarah kenaikan suku bunga di AS.
"Pengaruhnya [kenaikan suku bunga The Fed] seluruh dunia kena dampaknya,” imbuhnya.
Tren yang sama juga terjadi di negara maju lainnya, misalnya Eropa, dengan tingkat suku bunga yang telah mencapai 2,5 persen, serta Inggris yang juga telah menaikkan suku bunga ke level 3,5 persen.
Selain berdampak pada jalur keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa perlambatan ekonomi di banyak negara, terutama di negara mitra dagang Indonesia, berisiko mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
Dia memperkirakan, kinerja ekspor Indonesia pada 2023 akan kembali normal, setelah mengalami peningkatan yang signifikan selama pandemi Covid-19, yang juga dipengaruhi oleh tingginya harga komoditas di pasar global.
Menurutnya, kondisi perekonomian pada 2023 semakin sulit diprediksi karena masih sangat bergantung pada kondisi geopolitik, terutama perang Rusia dan Ukraina.
“Belum bicara Eropa yang perang, dan China sebagai ekonomi terbesar kedua di dalam prosesnya untuk membuka diri dan terkena pandemi kembali, mungkin negara lain sudah, China baru mulai terjadi kenaikan kasus. Situasi ketidakpastian ini yang harus jadi perhatian kita dalam mengidentifikasi risiko terhadap ekonomi kita,” jelasnya.
Sri Mulyani juga membandingkan kondisi ekonomi pada 2023 dengan krisis ekonomi pada 1998 dan 2008. Da menilai, ancaman resesi ekonomi global pada tahun depan bukanlah tantangan yang mudah.
Pemerintah, kata dia, harus sigap mengatasi setiap tantangan baru yang akan datang, meski Indonesia telah berhasil menangani pandemi Covid-19 dengan sangat baik.
“Kita telah diuji dengan tangangan gejolak keuangan 1997–1998, gejolak naik turunnya harga komoditas, gejolak krisis global 2008–2009. Sekarang pandemi serta kondisi geopolitik dan tantangan resesi global. Ini bukan tantangan yang mudah, polanya berubah”.
Dia pun mengatakan bahwa pemerintah mempertimbangkan adanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi 2023 ke 4,7 persen.
Meski kinerja penerimaan pajak terbilang baik tahun ini, risiko perlambatan ekonomi 2023 yang akan berpengaruh terhadap penerimaan negara menurutnya harus terus diwaspadai.
"Tahun depan, target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.718 triliun, target yang dihitung dengan sangat berhati-hati dan mempertimbangkan koreksi harga komoditas dan perlambatan pertumbuhan perekonomian di angka 4,7 persen," tulis Sri Mulyani dalam unggahan terbarunya di akun Instagram @smindrawati.