Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Kristianus Pramudito Isyunanda

Penasihat Hukum di Departemen Hukum, Bank Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Menjaga Ekonomi RI di Tahun 2023

Dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia (BI) 30 November lalu, Gubernur Perry Warjiyo menegaskan respons kebijakan moneter 2023 mengarah pada kebutuhan stabilita
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. /Freepik
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Problematika multidimensi kian menantang ekonomi global. Banyak yang mengibaratkan tahun 2023 bagai awan mendung yang kita jelang. Tetapi benarkah mendung pertanda akan datang badai? Saat semuanya masih serba tak tentu, Indonesia patut optimistis, namun tetap berjaga-jaga.

Ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina belum menunjukkan tanda mereda. Gangguan rantai pasok akibat perang menyebabkan kenaikan harga energi. Inflasi global lantas mendesak otoritas moneter mengambil stance pengetatan. Sementara itu, kesalahan posisi fiskal Inggris memaksa intervensi bank sentral di pasar gilts di tengah tekanan inflasi sehingga menciderai ekonomi negara itu. Manajemen pengendalian Covid-19 di China pun menuai polemik domestik. Semua itu menjadi ramuan pahit bagi laju ekonomi dunia.

Ruang kekeliruan makin sempit dan akan berimbas fatal bila terjadi. Fundamental makroekonomi Indonesia memang terbilang solid. Pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga 2022 tercatat 5,72%. Ketahanan eksternal kuat, tercermin dari catatan surplus neraca perdagangan sepanjang 2022. Tak hanya itu, mandat presidensi G-20 tuntas dengan membanggakan.

Bak pelita dalam gelap, terang ekonomi Indonesia di tengah tantangan berat harus dijaga agar nyalanya tak redup. Ke depan, berbagai kebijakan harus direncanakan matang dan dieksekusi secara cermat.

Variabel moneter yang masih harus dicermati di tahun 2023 adalah inflasi. Tekanan inflasi global memang dominan bersumber dari sisi penawaran (supply side) akibat perang.

Komponen moneter penting lainnya adalah kestabilan nilai tukar. Dolar AS menguat tajam sepanjang 2022, akibat pengetatan moneter agresif (hawkish) bank sentral AS (The Fed) demi memangkas inflasi kembali ke target 2%. Indeks dolar AS terhadap mata uang utama dunia (DYX) masih dalam tren penguatan, meskipun mulai terlihat melandai.

Dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia (BI) 30 November lalu, Gubernur Perry Warjiyo menegaskan respons kebijakan moneter 2023 mengarah pada kebutuhan stabilitas. Kenaikan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate masih dapat ditempuh sebagai langkah konkret pengendalian ekspektasi inflasi.

Stabilisasi di pasar valas guna meredam inflasi akibat apresiasi dollar AS (imported inflation) dan gejolak nilai tukar juga akan senantiasa dilaksanakan BI. Di samping itu, BI menempuh twist operation berupa pembelian/penjualan di pasar sekunder surat berharga negara (SBN) agar imbal hasil aset SBN tetap menarik dan kompetitif.

Kinerja ekspor dan commodity boom turut menopang pertumbuhan ekonomi dan ketahanan eksternal Indonesia pada 2022. Namun, risiko perlambatan ekonomi global dapat memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Kebijakan struktural berupa hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah ekspor, penciptaan iklim bisnis yang kondusif, dan inovasi demi mendorong produktivitas harus tetap konsisten di 2023.

RESILIENSI PASAR

Kondisi likuiditas di perbankan dan perekonomian tahun 2023 masih akan longgar seiring siklus keuangan yang masih tinggi. BI menyebut akan mempertahankan kebijakan makroprudensial akomodatif guna mendorong intermediasi seimbang. Sementara itu, ekses likuiditas akan dinormalisasi bertahap, terukur, dan hati-hati guna mengantisipasi risiko makroekonomi dan mendukung transmisi kebijakan bunga acuan. Kebijakan fiskal imperatif juga diperlukan agar likuiditas terserap di sektor produktif.

Agenda pengesahan omnibus law sektor keuangan juga patut dicermati. Kita berharap kehadiran hukum baru itu mampu mendongkrak peran pasar keuangan yang resilien sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi. Transformasi menuju pasar keuangan yang dalam, efisien, dan modern dapat menggiring ekonomi Indonesia yang selama ini bergantung pada konsumsi rumah tangga menjadi makin matang menuju ekonomi yang lebih berbasis investasi. Peran komite stabilitas sistem keuangan (KSSK) yang terkoordinasi dalam memonitor, mencegah, dan menangani krisis keuangan akan sangat diperlukan dalam menyambut tahun menantang 2023.

Kebijakan di tahun 2023 perlu tetap berbasis bauran. Bauran kebijakan di BI diwujudkan dengan arah stance moneter yang berorientasi pada kestabilan (pro-stability), sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar uang, serta ekonomi keuangan inklusif dan hijau dapat mendukung pertumbuhan (pro-growth). Bauran kebijakan ekonomi nasional patut diwujudkan melalui sinergi BI dengan otoritas fiskal sebagai penahan kejut (shock arbsober) bagi kestabilan makroekonomi.

Basis bauran kebijakan dapat mengawal Indonesia menembus awan hitam yang mungkin harus kita lalui di 2023. Semua pihak harus bergandeng tangan memastikan pijar ekonomi Indonesia tetap menyala, bahkan mampu makin terang menyinari dunia. Sinergi dan inovasi menjadi kunci.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper