Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gapasdap Sebut Regulasi Tarif Penyeberangan Cacat Hukum

Gapasdap mengeklaim regulasi tarif penyeberangan cacat hukum karena tidak menyertakan aspirasi dari asosiasi.
Sejumlah kendaraan pemudik memasuki kapal feri di Dermaga I Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Jumat (8/6/2018)./ANTARA-Asep Fathulrahman
Sejumlah kendaraan pemudik memasuki kapal feri di Dermaga I Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Jumat (8/6/2018)./ANTARA-Asep Fathulrahman

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menilai regulasi tarif angkutan feri pada Keputusan Menteri Perhubungan (KM) No. 184/2022 cacat hukum.

Menurut Ketua Umum DPP Gapasdap Khoiri Soetomo, regulasi KM No. 184/2022 tentang Perubahan Atas KM No. 172/2022 tentang Tarif Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan Kelas Ekonomi Lintas Antarprovinsi Dan Lintas Antarnegara, tidak memenuhi prosedur hukum dan tidak menyertakan aspirasi dari asosiasi, termasuk dari Gapasdap.

"KM No. 184/2022 ini merupakan KM yang arogan dan cacat hukum, karena dengan power-nya tiba-tiba mengubah lampiran [dokumen Keputusan Menteri Perhubungan]," ujarnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (12/12/2022).

Seperti diketahui, Kemenhub menaikkan tarif angkutan feri menyusul penaikan harga BBM. Awalnya, penaikan tarif diatur pada KM No. 172/2022 dan diundangkan pada 15 September 2022. Khoiri mengaku bahwa asosiasi dan stakeholders lainnya diajak untuk membahas perubahan regulasi tarif tersebut.

Kendati demikian, Kemenhub menarik kembali kebijakan tersebut jelang tiga hari pemberlakuannya, dan menggantinya dengan KM No. 184/2022. Beleid itu diterbitkan pada 28 September 2022.

Menurut Khoiri, kurangnya partisipasi asosiasi menjadi alasan utama penolakan beleid. Oleh sebab itu, Gapasdap mengajukan gugatan terhadap Kemenhub melalui PTUN Jakarta.

Khoiri juga mendorong agar penaikan tarif angkutan feri tidak diterapkan secara sama rata pada seluruh lintasan penyeberangan yang ada. Hal itu, lanjutnya, lantaran kemampuan membayar (ability to pay) dan kemauan membayar (willingness to pay) di setiap daerah lintasan berbeda-beda dan tidak bisa disamaratakan.

"Tarif tidak bisa dipukul rata. Ada kemampuan dan daya beli yang berbeda-beda, Yang rugi bukan hanya kami, tapi pengguna jasa juga," tuturnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper