Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menyampaikan sejumlah catatan penting agar implementasi kebijakan diskon tarif tiket tidak mengorbankan keberlanjutan sektor pelayaran penyeberangan nasional.
Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo menyambut baik semangat pemerintah untuk mendorong mobilitas masyarakat dan pertumbuhan ekonomi melalui stimulus tarif transportasi, termasuk diskon 50% tiket angkutan laut selama awal Juni hingga akhir Juli 2025.
Dia juga dapat memahami bahwa kebijakan ini bertujuan mulia. Namun menurutnya masih ada beberapa catatan penting agar implementasinya tidak mengorbankan keberlanjutan sektor pelayaran penyeberangan nasional.
Pertama, kata dia, terkait dengan tarif yang tidak seimbang sedangkan beban operasional terus meningkat.
"Perlu diketahui bahwa tarif kapal penyeberangan saat ini masih berada di bawah biaya operasional wajar. Berdasarkan perhitungan resmi Tim Tarif Kementerian Perhubungan, terdapat kekurangan sekitar 31,81% dari Harga Pokok Produksi [HPP]," katanya kepada Bisnis, dikutip, Selasa (17/6/2025).
Perhitungan ini, lanjutnya, masih merujuk pada formula tarif tahun 2019, dengan asumsi biaya seperti UMR dan kurs rupiah yang jauh lebih rendah dari realisasi saat ini.
Baca Juga
Sesuai regulasi, penyesuaian tarif seharusnya berlaku sejak 1 Oktober 2024, namun sampai saat ini masih tertunda tanpa kejelasan implementasi. Artinya, operator kapal penyeberangan selama ini, tegasnya, sudah secara tidak langsung memberi 'diskon besar' kepada masyarakat dan menanggung beban biaya operasional yang berat.
Selanjutnya, kata dia, adalah terkait dengan hari operasi kapal di bawah 50% akibat izin berlebih.
Menurutnya kondisi memberatkan industri penyeberangan nasional saat ini adalah turunnya hari operasi kapal ke bawah 50% per bulan di banyak lintasan utama. Salah satu contoh nyata adalah di lintasan Merak–Bakauheni, di mana banyak kapal hanya mendapat jadwal operasi 12 hari dalam sebulan akibat padatnya jumlah kapal berizin operasi.
Artinya kapal hanya dapat menghasilkan pendapatan selama 12 hari tetapi tetap menanggung biaya tetap penuh selama 30 hari, antara lain biaya bahan bakar untuk genset kapal yang wajib hidup 24 jam, meskipun kapal tidak beroperasi. Selanjutnya juga biaya kru jaga atau Anak Buah Kapal (ABK) yang wajib berjaga selama 24 jam, sesuai regulasi keselamatan pelayaran. Belum lagi, imbuhnya, terkait dengan biaya pelabuhan, asuransi, Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP, dan lainnya.
"Kami menilai bahwa pemberian izin kapal yang berlebihan telah menciptakan overcapacity tidak sehat. Padahal, lintasan-lintasan penyeberangan utama antarpulau telah dinyatakan dalam status moratorium perizinan oleh pemerintah sendiri," terangnya.
Namun pada kenyataannya, dia menyesalkan bahwa izin tambahan masih terus dikeluarkan yang jelas-jelas melanggar prinsip keteraturan, keselamatan, dan kesinambungan usaha.
Alhasil dengan diberlakukannya diskon tarif 50% pada masa puncak nanti saat biaya naik tetapi jadwal operasi terbatas, pendapatan pelaku akan semakin menurun, sementara beban biaya tetap meningkat.
Pelaku usaha penyeberangan, sebutnya, tidak menerima insentif langsung, yang berbeda dengan moda angkutan udara yang mendapatkan insentif pembebasan PPN, pengurangan biaya navigasi dan bandara, hingga stimulus operasional.
Gapasdap pun meminta agar pemerintah dapat kembali menegakkan moratorium perizinan kapal di lintasan utama, jangan lagi menambah izin yang memperburuk daya saing dan keselamatan. Sisi lain, pemerintah juga diminta segera memberlakukan penyesuaian tarif sesuai hasil perhitungan tim tarif oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
"Berikan subsidi langsung kepada operator kapal atas diskon tarif dan minimnya hari operasi dan ringankan beban fiskal dan biaya pelabuhan seperti biaya PNBP, biaya tambat dan labuh serta biaya pelabuhan," terangnya.
Pemerintah, lanjutnya, juga masih perlu memfasilitasi pembiayaan berbunga rendah dan jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan armada.