Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha mengeluhkan kurangnya atensi pemerintah terhadap transisi ketentuan over dimension dan over load atau ODOL untuk logistik. Kondisinya berbeda dengan rencana transisi kendaraan listrik yang tersusun rapi, karena adanya kepentingan sejumlah pihak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menjelaskan bahwa kalangan pebisnis menyoroti ketentuan penghentian operasional angkutan kelebihan muatan dan dimensi atau ODOL mulai 1 Januari 2023. Dia menilai ketentuan itu berlaku tanpa transisi.
Dia mencontohkan bahwa selama ini, sebuah truk bisa mengangkut muatan hingga 6 ton. Setelah ketentuan zero ODOL berlaku, truk itu wajib mengangkut muatan maksimal 3 ton.
Ketentuan itu memang sangat penting bagi aspek keselamatan para pengemudi truk, lalu lintas, hingga bagi barang-barang muatan itu sendiri. Namun, Hariyadi menilai bahwa berlakunya ketentuan itu tanpa transisi sehingga bisa berdampak terhadap dunia usaha.
"Kalau sudah keluar kebijakannya, supir pasti ngamuk, pemilik barang ngamuk, rakyatnya ngamuk. Tadinya satu truk [bisa mengangkut] 6 ton, nanti jadi 3 ton, kan perlu dua truk. Jalanan jadi makin ramai, makin macet, ongkos juga makin mahal," ujar Hariyadi dalam seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2023 yang diselenggarakan Indef pada Senin (5/12/2022).
Berdasarkan informasi yang Apindo peroleh, dari populasi 5,7 juta truk yang ada saat ini, sekitar 4,5 juta atau 80 persen di antaranya berjalan dengan ODOL. Oleh karena itu, pemberlakuan ketentuan tanpa transisi dapat menyebabkan guncangan bagi dunia usaha.
Baca Juga
Hariyadi memperoleh ilustrasi dari para pengusaha keramik bahwa saat ini dengan jalannya ODOL, ongkos logistik keramik per meter persegi adalah Rp5.000. Jika ketentuan zero ODOL berlaku, ongkosnya bisa meningkat dan semakin sulit untuk bersaing dengan produk impor.
"Keramik impor dari China langsung ke titik pelabuhan, ke Tanjung Priok, ke Tanjung Emas, ke Tanjung Perak, [ongkos angkut] per meter persegi itu Rp1.500. Ini yang sangat signifikan, akan memicu inflasi. Soal ODOL kami minta perhatian pemerintah, kita mau menerapkan ODOL tetapi tidak ada fase transisinya," kata Hariyadi.
Hariyadi membandingkan sikap pemerintah terkait ODOL dengan langkah transisi mobil listrik, yang menurutnya terencana dengan baik. Terdapat pihak yang berkepentingan besar dalam industri kendaraan listrik sehingga 'dukungan' pemerintah muncul dengan peta jalan dan implementasi transisi kendaraan listrik.
Menurutnya, jika terdapat pihak yang berkepentingan terhadap bisnis pengangkutan, pemerintah pun akan bersikap kurang lebih sama terkait transisi ketentuan ODOL.
"Ketentuan ODOL ini mau diundur sampai kapan juga tetap saja tidak akan ada transisinya, ini preferensi politik juga kan. Siapa sih yang punya kepentingan kendaraan listrik, tidak perlu saya sebut di sini, sementara yang soal ODOL tidak ada yang punya kepentingan. Kalau ada, sudah keluar tuh kebijakannya," kata Hariyadi.