Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Polemik Impor Beras, Data Bulog dan Kementan Berbeda?

Wacana impor beras menjadi polemik usai Kementan dan Bulog memiliki data yang berbeda soal stok nasional.
Stok beras di gudang Bulog Lampung./Antara/Ruth Intan Sozometa Kanafi
Stok beras di gudang Bulog Lampung./Antara/Ruth Intan Sozometa Kanafi

Bisnis.com, JAKARTA - Wacana impor beras oleh Bulog saat ini terus menjadi polemik. Bulog menyebut produksi yang terbatas menyebabkan pihaknya sulit memenuhi stok cadangan beras pemerintah sebesar 1,2 juta ton. Minggu awal November stok Bulog tercatat hanya 651.000 ton atau 9,9 persen dari stok beras nasional yang tersebar 6,71 juta ton.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebut selain di Bulog, 3 juta ton atau 50,5 persen berada di rumah tangga, 1,4 juta ton atau 22,1 persen di penggilingan, 800.000 ton atau 11,9 persen di pedagang, 300.000 ton atau 5 persen di hotel, restoran, kafe, dan 37.000 ton atau 0,6 persen di Pasar Induk Beras Cipinang.

Merespons hal tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan bahwa cadangan beras nasional totalnya mencapai lebih dari 8 juta ton yang rinciannya tersebar di penggilingan, pedagang dan paling besar di rumah tangga.

Pengamat pertanian Khudori mengatakan, masing-masing data yang dirilis masing-masing lembaga sejatinya mengacu pada survei Badan Pusat Statistik (BPS). Terkait perbedaan, Khudori menjelaskan yang disampaikan Bapanas tersebut mengacu pada stok saat ini (per awal November 2022).

“Stok ini dinamis, bisa naik dan turun. Yang disampaikan Kementan kan potensi surplus akhir tahun 2022 sebesar 1,8 juta ton. Jadi ngitung sampai akhir tahun. Beda kepentingannya. Makanya, logis datanya berbeda,” ujar Khudori kepada Bisnis.com, Selasa (22/11/2022).

Khudori menambahkan, Kementan melaporkan sampai akhir tahun ada kemungkinan surplus 1,8 juta ton beras. Jika ditambah surplus tahun lalu sebesar 5,2 juta ton, surplus akumulasi mencapai 7 juta ton.

“Masalah yang ada sekarang adalah stok CBP di Bulog yang rendah. Hanya 650.000-an ton, jauh dari stok ideal sebesar 1,2-1,5 juta ton. Pengadaan dari dalam negeri seret,” ujar Khudori.

Dengan stok yang sebesar itu, menurut Khudori akan bahaya. Karena akan berpengaruh pada psikologi pasar dan pemerintah tidak memiliki stok memadai untuk mengintervensi pasar.

“Pihak-pihak yang menguasai stok potensial akan mengeksploitasi pasar. Ini berpeluang sampai awal tahun depan. Panen dalam jumlah besar kemungkinan baru akan terjadi akhir Februari,” jelasnya.

Khudori mengusulkan agar Bulog bisa 'memindahkan' stok pedagang dan penggilingan jadi stok Bulog untuk memperbesar CBP, yakni dengan kontrak beli.

Dia membeberkan, stok fisik itu tidak harus dipindah secara fisik, tapi tetap di gudang pedagang dan penggilingan agar tidak boros dalam biaya angkutan dan sewa gudang. Ketika stok itu perlu untuk operasi pasar, baru dialirkan ke lokasi operasi pasar.

“Tinggal Bulog itung-itungan bisnis dengan pedagang dan penggilingan. Jika cara ini dilakukan dan bisa menambah stok 700.000 ton, stok akhir Bulog setidaknya bisa 1 juta ton. Tidak perlu kebijakan impor. Ini perlu duduk bareng, ngopi-ngopi bareng di antara mereka. Karena ini pertaruhannya adalah negara. Mestinya pedagang dan penggilingan mau,” pungkas Khudori.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper