Bisnis.com, JAKARTA- Penguatan arsitektur kesehatan global bahkan menjadi isu prioritas dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 sebagai kunci pemulihan global yang kuat dan berkelanjutan, dibutuhkan strategi baru dan sesuai upaya antisipasi ke depan.
Mendukung upaya penguatan tersebut, Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) UIN Syarif Hidayatullah menggelar Seminar dan Diskusi Publik bertajuk ‘Mengurai Persoalan Basis Data Dalam Penyusunan Arah Kebijakan dan Desain Arsitektur Kesehatan Nasional’ di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (3/11/22).
“Terdapat tiga strategi kebijakan yang perlu didorong Forum Presidensi G20 dalam upaya memperkuat arsitektur kesehatan global: pertama, menyusun dan membangun mekanisme global health fund; kedua, membuka akses penanggulangan darurat kesehatan; dan ketiga, penguatan mekanisme berbagi data yang tepercaya dengan pembentukan platform genome sequence data secara global”, ungkap pembicara kunci seminar Dekan sekaligus Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie, dikutip dari siaran pers pada Jumat (4/11/2022).
Salah satu kunci peningkatan arsitektur kesehatan global disebut Ahmad adalah ihwal ruang akses dan informasi data. Melihat pengalaman awal Covid-19, distribusi informasi dan data yang tidak merata justru menjadi penghambat penanggulangan pandemi.
Ahmad mencontohkan saat itu data sekuens genom hanya dapat diakses oleh Moderna, dan BioNTech. Padahal, data tersebut dibutuhkan banyak negara sebagai bagian mitigasi, termasuk pembuatan vaksin.
Tak hanya soal pandemi, di Indonesia ketidakcocokan alias diskrepansi data kerap terjadi antarkementerian dan lembaga. Tak jarang ditemukan beberapa kementerian atau lembaga memiliki datanya masing-masing untuk satu hal yang sama.
Baca Juga
Ahmad mencontohkan terkait data prevalensi anak merokok (10-18 tahun) yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik. Tentunya, hal ini berpotensi mengaburkan fokus dan arah kebijakan terkait akibat dari anomie (ketidakpastian) yang timbul karena rancunya data yang dapat dijadikan rujukan. Padahal, suatu kebijakan, terutama yang berkaitan dengan orang banyak, sepatutnya dibuat dengan basis data yang solid.
“Polemik soal data kerap menjadi perdebatan klasik. Jika dirunut, akar persoalannya juga masih sama, yakni soal ego sektoral yang pada akhirnya berdampak pada beragamnya varian data yang dirilis oleh masing-masing lembaga pemerintahan. Implikasinya, data-data yang berbeda dapat menghasilkan tafsir yang berbeda-beda dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula,” sambung Ahmad.
Direktur Eksekutif Poskolegnas Nur Rohim Yunus, mengakui adanya tantangan terhadap harmonisasi data, terutama dalam sektor kesehatan. Meski demikian, ia mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan sejatinya terus membangun sistem informasi kesehatan yang lebih kokoh sebagai bekal penguatan arsitektur kesehatan nasional. Hal tersebut misalnya terwujud dari pengembangan
PeduliLindungi sebagai platform penelusuran, pusat data pandemi Covid-19 dan mengembangkan platform seperti SMILE sebagai platform distribusi vaksin, sampai Aplikasi Sehat Indonesiaku (ASIK) sebagai pencatatan imunisasi digital.
“Kementerian Kesehatan nampaknya juga terus mengupayakan terbangunnya sistem informasi kesehatan yang mampu menyajikan data dan informasi yang lengkap, akurat, dan tepat waktu sebagai bahan masukan bagi pengambilan keputusan. Upaya ini tentu membutuhkan data di setiap proses manajemen kesehatan, baik dalam konteks manajemen pelayanan kesehatan, manajemen institusi kesehatan, maupun manajemen program kesehatan berbasis wilayah,” papar Nur Rohim.
Dia menambahkan, jika merujuk pada Perpres 39/2021 tentang Satu Data Indonesia, pemerintah sejatinya telah berupaya menciptakan soliditas data yang berfaedah sebagai basis perencanaan dan perumusan kebijakan nasional.
Semangatnya untuk menyatukan berbagai data ke dalam satu wadah agar tidak memunculkan kebingungan terhadap keabsahan data itu sendiri. Sebuah isu akan dapat dipersepsikan berbeda jika pijakan datanya berbeda, sehingga perumusan kebijakan berbasis data tak akan terjadi secara efektif, transparan dan akurat.
“Sajian data dan informasi yang lebih baik juga dapat mendorong seluruh elemen masyarakat untuk ikut bergerak dan terlibat membantu pengentasan persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah. Data yang solid juga dapat digunakan sebagai alat navigasi untuk menentukan akurasi dan ketepatsasaran suatu kebijakan,” sambungnya.