Bisnis.com, JAKARTA - Harga beras yang terus naik dalam 2—3 bulan terakhir membuat Direktur Utama Bulog, Budi Waseso berkomentar dan menyebut tiga faktor penyebap tingginya harga beras: alam, pendistribusian, dan swasta yang menguasai pasar beras (detik.com, 3/10/2022).
Perihal swasta menguasai pasar sebenarnya jamak, ini terjadi pada berbagai komoditas pertanian dan perikanan. Tetapi bukan berarti swasta salah, justru suatu negara yang ekonominya berhasil ada peran swasta di dalamya, baik di hulu maupun hilir untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi. Bahwa dalam hal penguasaan pasar beras, swasta begitu dominan, harusnya menjadi pemantik bagi pemerintah untuk mendukung penguatan Bulog.
Dalam ekonomi yang sehat, semua pelaku ekonomi harus diberi kesempatan yang sama, yang salah adalah eksploitasi kekuatan ekonomi secara tidak sehat. Sayangnya pemerintah sebagai regulator dan penanggung jawab untuk mendukung penguatan Bulog kadang kalah cepat dari swasta, bahkan cenderung tidak berkomitmen.
Perum Bulog sebagai lembaga parastatal (penstabil harga) dan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) kalah bersaing dengan swasta dalam pembelian gabah (jumlah dan harga), apalagi angkutan logistik. Dalam hal pengadaan dan penjualan beras umum, Bulog mengacu pada harga yang telah diatur oleh pemerintah. Hal yang kemudian membatasi fleksibilitas Bulog untuk penyerapan gabah.
Bulog juga kalah dari swasta, terutama dalam hal teknologi penggilingan. Swasta bisa membeli gabah dengan mahal di tingkat petani dan mengolahnya menjadi beras premium, serta memiliki fasilitas gudang penyimpanan jauh lebih modern. Bulog sampai saat ini tidak memiliki gudang khusus beras, dengan 476 komplek gudang yang ada, semuanya itu hanya gudang biasa.
Lemahnya daya saing Bulog harus diakui sedikit banyak datang dari pemerintah sendiri. Sebagai contoh, utang pemerintah pada Bulog sebesar Rp4,5 triliun sebagai konsekuensi penugasan Bulog untuk memenuhi CBP 1 juta ton beras bansos di masa PPKM. Saat yang sama, utang Bulog pada Himbara mencapai Rp13 triliun, dan akan terus bertambah karena bunga komersilnya 7,5%. Jelas kejadian ini tidak mengenakkan dan membatasi ruang gerak Bulog dalam perbaikan fasilitas perusahaan, seperti teknologi penggilingan, gudang penyimpanan beras, dan ekspansi bisnis.
Baca Juga
Jika ini terus belanjut dan tidak ada perbaikan secara menyeluruh, Bulog akan makin kalah bersaing dengan swasta, dan pemerintah gagal. Keluhan Direktur Utama Bulog harus dilihat sebagai peringatan dan momentum pemerintah untuk memperkuat Bulog, sehingga bisa bersaing secara sehat dengan swasta dalam bisnis perberasan.
PRODUKSI & PASAR
Tiga pilar ketahanan pangan yang ditugaskan kepada Bulog meliputi ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Bulog tidak bisa sendirian mewujudkannya, terutama dalam kaitanya dengan pasar. Pemerintah cukup menjadi wasit yang adil dalam struktur pasar beras.
Dalam aspek ketersediaan beras, harus dilihat secara komprehensif. Rantai produksi beras dan perdagangan beras melibatkan K/L yang beragam, termasuk BUMN dan swasta. Secara teknis, produksi beras menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, sedangkan lahan baku sawah (LBS) menjadi kewenangan ATR/BPN. Input produksi padi, seperti pupuk, benih, dan obat-obatan, bahkan alsintan dihasilkan oleh BUMN maupun swasta.
Sementara itu, kebijakan harga dan rantai perdagangan menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan, sedangkan Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) bertugas mengoordinasikan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan pangan lintas K/L. Dalam kaitannya dengan insentif petani, pemerintah bisa melakukannya dengan subsidi pupuk atau kemudahan akses permodalan dan atau kebijakan harga jual di tingkat petani yang kompetitif.
Dan jangan lupakan peran penting kelompok civil society yang bergerak pada sektor pertanian. Mereka ini terlibat biasanya dengan model pendampingan. Sejak 2020, Perempuan Tani HKTI melakukan pendampingan persilangan padi di Desa Bokor, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, dan panen raya perdana dilaksanakan 26 Maret 2021. Beras hasil panen diberi nama “Si Denok”.
Berkaitan dengan stabilitas, selama ini, ketika harga beras di pasar naik, respons kebijakan yang selalu diambil oleh Bulog dan Kemendag adalah dengan operasi pasar, menggolontorkan beras ke pasar-pasar induk yang pasokannya berkurang agar harga tetap stabil. Ke depan harus ada perhitungan akurat perihal estimasi elastisitas harga. Kenaikan harga harus diterima sebagai respons rasional pasar atas terjadinya kelangkaan jangka pendek, yang tentu saja harus diantisipasi secara cepat dan tepat.
Ia memerlukan respons kebijakan cerdas, namun tidak dengan saling menyalahkan. Konsep keamanan pangan mewajibkan pelaku di bidang pertanian mengikuti asas persaingan sehat. Bila faktual ada pelaku ekonomi yang dominan, adalah tugas regulator dan penegak aturan persaingan, dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memastikan bahwa persaingan bisnis harus berjalan secara sehat, tidak ada monopoli.
BUMN seperti Bulog memiliki peran besar dalam menopang perekonomian nasional, apalagi dalam situasi ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian. Jadi sangat penting bagi Bulog untuk mandiri. Pada akhirnya hanya dengan kolaborasi lintas lembaga dukungan yang sehat, dengan prinsip win-win, bukan zero sum game, akan menguatkan Bulog.