Bisnis.com, JAKARTA - Inflasi China relatif landai pada September 2022 dibandingkan dengan negara-negara lainnya, karena lockdown Covid-19 masih berdampak pada kebiasaan belanja masyarakat, sementara harga komoditas yang lemah menahan inflasi produsen.
Dilansir dari Bloomberg pada Jumat (14/10/2022), Biro Statistik Nasional China melaporkan indeks harga konsumen (IHK) China naik 2,8 persen pada September dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Kenaikan sebagian besar didorong oleh harga daging babi. Meskipun laju inflasi merupakan yang tertinggi sejak April 2020 dan naik dari 2,5 persen pada Agustus, angka ini sedikit lebih rendah dari median proyeksi ekonom dalam survei Bloomberg sebesar 2,9 persen.
Sementara itu, inflasi inti yang tidak termasuk biaya makanan dan energi, melambat menjadi 0,6 persen dari 0,8 persen pada Agustus, laju terlemah sejak Maret 2021. Kemudian, indeks harga produsen melambat menjadi 0,9 persen dari 2,3 persen pada Agustus, lebih rendah dari proyeksi sebesar 1 persen.
Kepala ekonom untuk China Raya di Australia & New Zealand Banking Group Ltd. Raymond Yeung menilai dengan adanya penurunan inflasi inti, China menuju ke era deflasi karena aktivitas ekonomi berkurang
Selain itu, sebuah survei swasta yang diterbitkan bulan lalu memperingatkan negara itu menghadapi peningkatan risiko dari deflasi karena permintaan melemah di bawah beban krisis properti yang sedang berlangsung dan terancam oleh pembatasan Covid-19 yang berkelanjutan.
Baca Juga
"Inflasi inti yang lebih lemah menunjukkan bahwa pemulihan permintaan efektif lemah, dan ada kelambatan dalam menurunkan harga ke rantai pasokan," jelas Kepala ekonom Jones Lang Lasalle Inc Bruce Pang.
Menurutnya, manufaktur tetap menjadi masalah utama China saat ini.
Bruce mengatakan tidak melihat risiko deflasi dalam jangka pendek, bahkan beberapa karakteristik deflasi struktural karena permintaan melemah.