Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Percepat Pensiun Dini PLTU, Begini Tanggapan APLSI

Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menanggapi rencana pemerintah mempercepat pensiun dini PLTU baru bara.
Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Extension 1x315 MW di Desa Lontar, Tangerang, Banten, Jumat (29/3/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal
Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar Extension 1x315 MW di Desa Lontar, Tangerang, Banten, Jumat (29/3/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) meminta pemerintah untuk tetap mempertimbangkan ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) di tengah percepatan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.

“Mengenai early retirement, APLSI berharap proses ini dilaksanakan dengan tetap menghormati ketentuan-ketentuan yang telah sebelumnya disepakati dalam PPA,” kata Ketua Umum APLSI Arthur Simatupang saat dihubungi, Kamis (13/10/2022).

Selain itu, Arthur menambahkan, konsen pada pemadaman operasi PLTU juga mesti mempertimbangkan ongkos transisi yang menyertainnya. Di sisi lain, dia mengapresiasi dukungan fiskal pemerintah melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan untuk mempercepat transisi energi domestik.

“Kami sangat menantikan peraturan turunan dari komitmen tersebut agar kami dapat lebih memahami konkret dari dukungan fiskal tersebut,” ujarnya.

Di sisi lain, dia berharap, pemerintah segera menyusun peta jalan yang jelas terkait pengadaan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) seiring dengan komitmen pemadaman puluhan PLTU.

“Agar implementasi transisi energi terjadi percepatan untuk menggantikan PLTU yang masuk skema pensiun dini, harus dibarengi dengan project pipeline pengadaan pembangkit listrik EBT yang jelas,” ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan sejumlah negara dan lembaga keuangan internasional telah menunjukkan ketertarikan mereka untuk ikut mendanai program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batu bara yang dimulai tahun ini.

“Sudah ada beberapa negara dan lembaga keuangan yang tertarik dengan program pensiun dini PLTU, salah satunya Asian Development Bank [ADB],” kata Dadan saat dihubungi, Kamis (13/10/2022).

Kendati demikian, Dadan mengatakan, kementeriannya masih mematangkan peta jalan pensiun dini puluhan pembangkit berbasis energi fosil tersebut menyusul disahkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik bulan lalu.

Di sisi lain, dia menerangkan, pemerintah masih menilai keekonomian dari inisiatif pemadaman 33 PLTU dengan kapasitas 16,8 giga watt (GW) yang telah beroperasi selama tiga dekade. Malahan, 3 PLTU diharapkan sudah setop operasi pada tahun ini.

“Pensiun dini 33 PLTU itu sedang dievaluasi, misalkan nilai aset, besar CO2, kebutuhan sistem, umur pembangkit. Pendanaan juga demikian, masih dalam proses pembahasan,” kata dia.

Seperti diketahui, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional. Manuver itu diperkirakan menelan investasi  US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun, kurs Rp14.890.

Hanya saja program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun, asumsi kurs Rp14.810.

Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.

“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper