Bisnis.com, JAKARTA - Berakhirnya insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) pada September 2022 lalu diprediksi menjadi beban baru untuk penjualan properti di sektor hunian.
Head of Advisory Colliers Indonesia Monica Koesnovagril membenarkan hal tersebut dan memproyeksi akan ada dampak yang memberatkan terlebih untuk konsumen di kelas menengah bawah karena berkaitan dengan daya beli.
"Dengan PPN DTP itu kan orang jadinya lebih mampu beli. Ini ke depannya sih bisa jadi akan mempengaruhi. Rasanya ini akan jadi lebih berarti buat hunian," kata Monica, Rabu (5/10/2022).
Sebagai informasi, pada Februari 2022 lalu, pemerintah sebelumnya kembali melanjutkan pemberian insentif PPN DTP untuk pembelian rumah lewat PMK Nomor 6/PMK.010/2022 tentang PPN atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022.
Adapun besaran diskon PPN DTP yang berlaku yaitu 50 persen atas penjualan rumah maksimal Rp2 miliar, dan 25 persen untuk penjualan di atas Rp2-5 miliar.
Berakhirnya insentif ini dapat mendorong developer untuk memutar otak untuk mengantisipasi penurunan minat beli konsumen.
Baca Juga
Namun, Monica tak menampik bahwa saat ini developer berada di kondisi yang serba sulit. Sebab, dari sisi konsumen, developer ditekan untuk mengurangi harga agar secara absolut number termasuk PPN DTP tetap dapat bersaing dengan harga sebelumnya.
"Tapi di sisi lainnya effort developer itu naik, dari biaya development dan cost funding karena suku bunga pinjamannya udah jadi naik gitu," tambahnya.
Dalam hal ini, Monica merujuk pada kondisi tren kenaikan suku bunga acuan yang diproyeksi akan meningkat. Pada September lalu, suku bunga BI naik 50 bps ke angka 4,25 persen, sehingga dapat berdampak pada peningkatkan bunga KPR.
Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto mengaku sempat berdiskusi dengan persatuan perusahaan Realestat Indonesia (REI) terkait upaya untuk mengimbau pemerintah memperpanjang PPN DTP hingga akhir Desember tahun depan.
"Dengan kondisi seperti ini sebenarnya yang bisa diperjuangkan adalah developer yang mereka harus bisa meyakinkan pemerintah bahwa insentif ini sangat membantu penjualan properti," tegasnya.
Menurutnya, walaupun potensi dari PPN DTP berkurang, namun pemerintah mesti mempertimbangkan performa positif dari sisi transaksi rumah dan 174 industri lain yang ditopang sektor properti.
Lebih lanjut, Ferry menerangkan bahwa dengan kondisi inflasi, kenaikan tingkat suku bunga dan ancaman resesi ekonomi, berbagai strategi marketing yang dilakukan developer seperti promo pun tidak membuat penjualan properti begitu signifikan.
"Tapi yang membantu justru insentif yang seperti ini karena diskon PPN DTP ini jumlahnya signifikan kalau kita bicara produk yang ratusan juta atau miliaran begitu dia tidak dikurangi tentunya ini akan membantu dari sisi konsumen," jelasnya.
Ferry menerangkan, selama ini konsumen kelas menengah atas memiliki kendala bukan terkait tidak punya dana, melainkan waktu yang tepat untuk pembelian produk. Dengan melihat insentif tentu hal tersebut mendorong keinginan untuk membeli.
Dampak berakhirnya PPN DTP terhadap produk kelas menengah ke atas ini yaitu kondisi tertekan yang membuat developer sulit bahkan tidak bisa terjual dengan mudah, layaknya situasi pada saat sebelum krisis.
Di sisi lain, realisasi investasi sektor properti di Indonesia per Juli 2022 tercatat tumbuh sebesar 8,8 persen atau Rp51,6 triliun dari total target Rp584,6 triliun tahun 2022.
Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Hari Gani beberapa waktu lalu mengatakan pertumbuhan tersebut terdorong oleh insentif PPN DTP dan pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik di awal Semester I/2022.