Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah ingin mengoptimalisasi penerimaan negara dari perdagangan aset kripto seiring diberlakukannya skema perpajakan baru melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 50/2025.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menyebut potensi penerimaan pajak dari transaksi kripto sangat besar, terlebih dengan struktur tarif final yang kini dibuat lebih sederhana dan jelas.
“Kalau menghitung penerimaannya berapa, tarifnya [pajak pertambahan nilai] juga sangat sederhana, 0,21%. Nanti tinggal dikalikan saja. Misalnya dengan berapa total transaksi kripto di Indonesia. Ya sudah, itu potensi yang bisa kita peroleh,” kata Yon dalam media briefing di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Dia mencontohkan, transaksi aset kripto sekitar Rp620 miliar pada tahun lalu. Meski demikian, Yon meyakini angka itu belum mencerminkan transaksi sebenarnya.
Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa beleid baru ini bisa lebih memberikan kepastian hukum untuk memungut potensi pajak yang dari setiap transaksi aset kripto.
Selain itu, sambungnya, Kementerian Keuangan juga akan terus mempererat koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas aset kripto.
Baca Juga
"Kalau nanti OJK memperketat pengawasan transaksi masuk skema kripto yang ada di dalam negeri. Nanti kita akan mengenakan tarif 0,21%," jelas Yon.
Dalam skema baru, pemerintah juga membedakan perlakuan tarif antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri. Untuk penyelenggara perdagangan kripto dari luar negeri.
Adapun besar tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 yang dikenakan adalah sebesar 0,21% dari nilai transaksi apabila dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri. Sementara transaksi yang dilakukan melalui PPMSE luar negeri akan dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 1%.
"Kenapa kita kenakan tarif pemungutannya lebih tinggi [untuk Pmse Luar Negeri]? Justru sebenarnya itu masukkan dari industri agar industri kripto dalam negeri justru tumbuh dan berkembang," kata Yon.
Ke depan, dia menyatakan Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak akan terus melakukan evaluasi berkala terhadap tarif dan skema pungutan kripto agar tetap relevan dengan dinamika industri.
Perbedaan Skema Pajak Kripto antara Ketentuan Lama (PMK-81/2024) dan Aturan Baru (PMK-50/2025):
1. Penjualan Aset Kripto: Tarif Baru Lebih Terarah
Dalam aturan sebelumnya, transaksi penjualan kripto dikenakan PPh Pasal 22 Final dengan dua skema: sebesar 0,1% untuk platform yang terdaftar di Bappebti dan 0,2% bagi yang tidak.
Di bawah PMK terbaru, pemerintah menyederhanakan dan menyeragamkan skema pemajakan. Untuk transaksi di dalam negeri, tarif PPh Pasal 22 ditetapkan sebesar 0,21% dan dipungut langsung oleh platform perdagangan dalam negeri yang ditunjuk sebagai PPMSE dalam negeri.
Sementara itu, transaksi melalui platform luar negeri dikenakan tarif lebih tinggi, yakni 1%. Pungutan dilakukan oleh PPMSE luar negeri atau disetorkan sendiri oleh pengguna.
Kebijakan ini dinilai sebagai langkah mendorong pertumbuhan ekosistem kripto domestik dengan membuat perdagangan luar negeri menjadi relatif lebih mahal.
2. Pembelian Kripto Kini Bebas PPN
Perubahan mencolok lainnya terlihat pada aspek pembelian. Jika sebelumnya pembeli dikenakan PPN sebesar 0,11% hingga 0,22% tergantung status platform, kini pembelian aset kripto sepenuhnya dibebaskan dari PPN.
Hal ini sejalan dengan pendekatan baru pemerintah yang menyetarakan aset kripto dengan surat berharga, sehingga tidak lagi menjadi objek PPN.
3. Jasa Platform Tak Banyak Berubah
Untuk penyedia jasa platform, aturan pajak tetap mengacu pada ketentuan umum. Baik dalam PMK lama maupun baru, jasa platform dikenai PPN sesuai regulasi berlaku dan PPh dengan skema tarif progresif Pasal 17. Tidak ada pemajakan final yang berlaku di sini.
4. Aktivitas Mining Diperketat
Kegiatan penambangan (mining) kripto turut mengalami penyesuaian. Tarif PPN dinaikkan dari sebelumnya 1,1% menjadi 2,2%. Selain itu, jika sebelumnya penambangan dikenai PPh final sebesar 0,1%, kini pelaku mining harus membayar PPh sesuai tarif umum Pasal 17, tergantung penghasilan yang diperoleh. Ini mencerminkan pendekatan fiskal yang lebih menyeluruh terhadap aktivitas penambangan sebagai usaha komersial.
5. Platform Luar Negeri Kena Pajak Ganda
Penunjukan platform luar negeri juga disesuaikan. Bila sebelumnya mereka hanya ditetapkan sebagai pemungut PPN, kini mereka juga akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak.
Penunjukan ini mempertimbangkan kriteria administratif dan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen).