Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Paradoks Subsidi Angkutan Umum dan Upaya Meredam Inflasi

pengamat mengungkapkan ada inkonsistensi kebijakan dari pemberian bantuan sosial bagi ojek daring atau ojek online.
Sejumlah angkutan umum terparkir di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Bisnis/Arief Hermawan P
Sejumlah angkutan umum terparkir di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Pemberian bantuan sosial yang salah satunya berupa subsidi untuk angkutan umum belum mampu menahan lonjakan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM. Di tengah kondisi itu, terdapat polemik dari pemberian bantuan sosial bagi ojek daring atau ojek online.

Kenaikan harga BBM bersubsidi membawa dampak yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi September 2022 mencapai 5,95 persen, dengan komponen harga diatur pemerintah (administered price) 13,28 persen yang pendorongnya merupakan kenaikan harga BBM.

Laju inflasi diperkirakan masih akan menanjak karena dampak kebijakan harga BBM belum sepenuhnya ditransmisikan ke kenaikan harga barang dan jasa. BPS pun mencatat belum seluruh wilayah melakukan penyesuaian tarif angkutan umum pasca kenaikan harga BBM bersubsidi.

Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa salah satu masalah yang perlu mendapatkan sorotan adalah ojek online (ojol). Layanan jasa itu turut mendapatkan subsidi atas kenaikan harga BBM, padahal berdasarkan regulasi ojol bukan merupakan angkutan umum.

Bhima menilai terdapat berbagai inkonsistensi di sana. Pertama, pemerintah berupaya mengendalikan dampak kenaikan harga BBM dengan menyalurkan subsidi bagi transportasi umum, tetapi justru malah memberikan subsidi bagi ojol yang bukan merupakan transportasi umum.

Kedua, menurutnya, terdapat pengemudi ojol yang memperoleh bantuan subsidi upah (BSU) karena penghasilannya di bawah Rp3,5 juta per bulan. Bhima menilai hal itu aneh, karena pengemudi ojol tidak berstatus pekerja, melainkan mitra sehingga tidak sesuai kriteria penerima BSU.

Apabila pemerintah hendak memperlakukan pengemudi ojol sebagai pekerja, maka perusahaan penyedia layanan harus memenuhi berbagai kewajiban ketenagakerjaan bagi para mitra, seperti upah minimum dan jaminan sosial. Adapun, jika pekerja mitra bisa memperoleh BSU, maka seharusnya pekerja informal lain dengan penghasilan di bawah Rp3,5 juta juga bisa mendapatkan bantuan.

"Ada inkonsistensi aturan. Jadi ujungnya penerima BSU dan BLT diatur pemerintah tanpa ada klarifikasi dari sasaran penerima soal indikator dan kategori," ujar Bhima kepada Bisnis, Selasa (4/10/2022).

Kebijakan subsidi transportasi umum dan bantuan sosial menjadi instrumen penting untuk menjaga inflasi tidak semakin menanjak. Namun, menurut Bhima, pelaksanaannya harus optimal agar masyarakat tidak semakin tertekan.

Dia menilai bahwa kenaikan harga BBM memukul masyarakat di banyak lapisan, masyarakat miskin terbebani oleh dampak kenaikan harga pangan dan kebutuhan lain, lalu kelas menengah terbebani oleh dampak inflasi. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang mampu menjaga seluruh lapisan.

"Perlu revisi regulasi pengupahan untuk menaikkan upah minimum di atas inflasi dan memberikan subsidi transportasi publik secara signifikan," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper