Bisnis.com, JAKARTA - Subholding Pelindo Terminal Petikemas (SPTP) menargetkan standarisasi pelayanan di seluruh pelabuhan di Indonesia setelah merger PT Pelindo (Persero). Hal tersebut ditujukan agar pengguna jasa, khususnya perusahaan pelayaran, bisa mendapatkan kepastian pelayanan yang sama di barat maupun timur.
Direktur Utama SPTP M. Adji mengatakan standarisasi bertujuan untuk menerapkan tingkat layanan yang sama di seluruh terminal peti kemas kelolaan Pelindo. Seperti diketahui, saat ini Pelindo merupakan operator bagi hampir seluruh terminal peti kemas di Tanah Air atau sebanyak 95 persen.
Pada akhirnya, diharapkan tingkat layanan yang setara dari barat ke timur ini bisa menguntungkan para shipping line. Tujuannya agar mereka bisa memiliki kepastian untuk waktu sandar dan berangkat, sehingga bisa ikut mengefisiensi biaya logistik.
"Kalau bicara level of service [terminal peti kemas] di Jakarta dan Surabaya itu sudah tinggi. Misalnya di Ambon semisal belum bertransformasi, jadinya tidak tentu di sana pelayanannya kadang cepat kadang lama," ujar Adji kepada Tim Jelajah Pelabuhan Bisnis Indonesia, Jumat (23/9/2022).
Untuk itu, salah satu misi BUMN pelabuhan itu pascamerger adalah untuk menyamaratakan standar pelayanan pelabuhan-pelabuhan yang sudah maju, dengan yang masih dalam proses bertransformasi.
Salah satu konsep yang diusung yakni hub (pelabuhan utama) and spoke (pelabuhan pengumpan). Konsep tersebut diusung untuk mengefisienkan pergerakan kapal pelayaran ke daerah-daerah terpencil.
Baca Juga
Adji menilai pengangkutan barang-barang bervolume kecil ke destinasi terpencil tidak efisien jika dilakukan secara point-to-point, serta menggunakan kapal yang kecil. Misalnya, pelayaran menggunakan kapal-kapal kecil dari Jawa ke Indonesia Timur yang bolak-balik mendistribusikan barang.
"Makanya lebih baik dikumpulkan dulu di Surabaya terus nanti di Indonesia Timur juga dikumpulkan dulu di satu tempat. Baru ada loop kecil yang akan mendistribusikan ke tempat-tempat kecil, itu hub and spoke," terang Adji.
Seperti diketahui, ketimpangan antara muatan berangkat dan muatan balik dari kawasan Indonesia Timur masih menjadi isu yang disoroti oleh pemerintah. Hal tersebut turut menyebabkan tingginya biaya freight ke daerah-daerah seperti Ambon, Jayapura, dan lain-lain.
"Shipping line itu punya data terkait dengan imbalance trade. Jadi ketika kapal angkutan Jakarta dan Surabaya dari Indonesia Timur muatannya tidak balance, maksimum paling 30 persen. Bahkan empty," ujarnya.
Untuk itu, standarisasi pelayanan di seluruh pelabuhan dinilai menjadi fondasi untuk menerapkan konsep hub and spoke. Apabila pelabuhan sudah memiliki kesiapan yang matang dan setara di seluruh daerah, Adji memperkirakan konsep tersebut bisa diterapkan dengan baik.
"Makanya kembali lagi. No matter where hub and spoke is, we have to be ready," pungkasnya.