Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan biaya tambahan (surcharge) pada layanan transportasi udara dinilai tidak terelakkan bagi jenis pesawat propeller atau baling-baling yang banyak melayani rute penerbangan perintis atau dari/ke daerah terpencil. Kendati demikian, hal tersebut berbeda bagi kenaikan surcharge pada rute penerbangan yang dilayani pesawat jet.
Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan (APJAPI) Alvin Lie menilai kenaikan surcharge yang cukup signifikan pada KM No.142/2022, yang mulai berlaku 4 Agustus 2022 lalu, wajar terutama bagi pesawat baling-baling.
Berdasarkan kebijakan teranyar dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub), surcharge bagi pesawat jenis propeller paling tinggi 25 persen dari Tarif Batas Atas (TBA), atau lebih tinggi dari kebijakan sebelumnya yakni 20 persen.
Menurut Alvin, banyak maskapai pesawat baling-baling yang mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19 dan kenaikan harga minyak dunia. Apalagi, biaya operasi dari pesawat propeller tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan pesawat jet.
Imbasnya, banyak maskapai disebut memiliki pilihan yang terbatas antara melanggar Tarif Batas Atas (TBA) atau gulung tikar.
"Beberapa maskapai sudah tidak kuat lagi. Bahkan ada beberapa yang nekar melanggar TBA dan fuel surcharge karena tidak bisa bertahan. Jadi pilihannya melanggar atau menghentikan operasi," terangnya, Minggu (7/8/2022).
Baca Juga
Alvin menjelaskan bahwa banyak dari rute penerbangan yang dilayani oleh pesawat propeller hanya dilakukan oleh satu maskapai. Dengan demikian, pilihan bagi para konsumen pun terbatas dan tarif penerbangan rute yang dilayani pesawat propeller dipastikan akan naik.
Di sisi lain, Mantan Anggota Ombudsman RI itu masih mempertanyakan keputusan mengenai menaikkan surcharge bagi pesawat jet yakni dari 10 persen (KM No.68/2022), menjadi 15 persen pada Keputusan Menteri Perhubungan terbaru.
"Rute yang dilayani pesawat jet masih oke. Airlines masih bertahan tapi kenapa justru dinaikkan jadi 15 persen ini yang saya agak kurang paham," tutur Alvin.
Alvin juga menilai kendati adanya ketentuan baru soal biaya fuel surcharge, harga tiket pesawat jet belum tentu akan naik karena persaingan yang ada cukup ketat di antara pemain-pemain maskapai yang ada. Selama ini, lanjutnya, rute-rute yang dilayani oleh pesawat jet sudah kompetitif.
"Pesawat jet belum tentu akan naik [harga tiketnya] karena persaingan cukup ketat. Pemainnya juga itu-itu saja cukup besar ada Garuda dan Lion Group, Sriwijaya, Air Asia, dan Pelita juga sudah mulai masuk jadi persaingan cukup ketat," terangnya.
Pada sisi konsumen, Alvin menilai adaptasi sudah dilakukan. Menurutnya, dengan tren tarif penerbangan yang naik ditambah dengan kenaikan PPN dan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U), masyarakat sudah beradaptasi dengan menggunakan jasa penerbangan jika dibutuhkan saja.
"Bukan hanya harga tiket yang naik, tetapi dengan PJP2U dan PPN yang semakin besar menjadi 11 persen dari harga tiket, jadi total kenaikan harga tiket itu betul-betul terasa oleh konsumen," tutupnya.
Di sisi lain, Plt Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Nur Isnin Istiartono menghimbau kepada seluruh maskapai yang melayani rute penerbangan berjadwal dalam negeri agar dapat menerapkan tarif penumpang yang lebih terjangkau oleh pengguna jasa penerbangan.
Nur Isnin menyebut dengan memberlakukan tarif penumpang yang terjangkau, tentunya akan menjaga konektivitas antarwilayah di Indonesia dan kontinuitas pelayanan jasa transportasi udara.
"Seperti kita ketahui, bahwa kemampuan daya beli masyarakat belum pulih akibat pandemi Covid-19 namun kebutuhan masyarakat akan transportasi udara tetap harus diperhatikan," jelasnya melalui keterangan resmi.