Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance memperkirakan tarif angkutan udara akan terus memberikan kontribusi terhadap laju inflasi tinggi hingga akhir 2022.
"Angkutan udara ini sampai akhir tahun dirasakan masih akan tertinggi," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam webinar bertajuk Mengelola Inflasi dan Mengantisipasi Stagnasi Ekonomi oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) secara daring di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Dia menilai maskapai penerbangan berupaya menambah jumlah penerbangan setelah dipaksa turun karena adanya pandemi COVID 19 pada 2020 hingga 2021. Namun, upaya kebangkitan ini, lanjut dia, membutuhkan waktu lama karena pandemi telah membuat para maskapai merugi.
"Karena banyak pesawat yang di grounded, layout, sehingga tidak mudah langsung jumlah pesawat meningkat tajam," kata Tauhid.
Bersamaan dengan itu, para maskapai juga harus menghadapi meningkatnya harga bahan bakar Avtur yang disebabkan oleh gejolak harga komoditas energi di tingkat global.
Selain itu, Tauhid mengatakan semakin banyak penguasaan maskapai penerbangan oleh segelintir perusahaan induk saja. Hal ini menyebabkan persaingan harga tiket antar maskapai tidak kompetitif lagi.
Baca Juga
"Persaingan antar tiket ini, kurang begitu terjadi saat ini," ujarnya.
Saat ini, tarif angkutan udara merupakan penyumbang terbesar inflasi dari kelompok administered price, selain komponen bahan bakar rumah tangga, rokok kretek filter dan tarif listrik.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kelompok ini menyumbang inflasi pada Juli 2022 sebesar 0,21 persen month to month (mom) atau 6,51 persen year on year (yoy) secara tahunan.
Bank Indonesia (BI) sendiri telah mengumumkan bahwa sasaran inflasi pada tahun ini akan meleset dari sasaran awal, yakni 2-4 persen. Kendati demikian, BI meyakini bahwa laju inflasi akan kembali ke kisaran 2-4 persen pada 2023.
"Untuk keseluruhan tahun 2022, inflasi indeks harga konsumen (IHK) diprakirakan lebih tinggi dari batas atas sasaran dan akan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada 2023," kata Erwin Haryono, Direktur Eksekutif - Kepala Departemen Komunikasi BI, beberapa waktu lalu.