Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Antisipasi Pelemahan Rupiah, Industri Mamin Perlu Insentif Perpajakan

Pelaku industri makanan dan minuman (mamin) dipandang perlu mendapatkan insentif perpajakan untuk mengantisipasi dampak pelemahan rupiah.
Pekerja mengemas produk minuman kopi serbuk di pabrik produk hilir PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, Banaran, Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (31/7)./ANTARA FOTO-Aditya Pradana Putra
Pekerja mengemas produk minuman kopi serbuk di pabrik produk hilir PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, Banaran, Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (31/7)./ANTARA FOTO-Aditya Pradana Putra

Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri makanan dan minuman (mamin) perlu mendapatkan perpanjangan insentif perpajakan. Hal itu untuk mengantisipasi dampak pelemahan rupiah terhadap industri.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira, perpanjangan insentif perpajakan tersebut perlu diimbangi dengan pengawasan yang diperketat sehingga berkorelasi dengan serapan tenaga kerja.

"Pelaku industri mamin perlu mendapatkan perpanjangan insentif perpajakan, asalkan pengawasannya diperketat sehingga berkorelasi dengan terjaganya serapan kerja," kata Bhima kepada Bisnis, Senin (11/7/2022)

Kemudian, lanjutnya, beberapa debitur mamin yang masih kesulitan melunasi pinjaman sebaiknya juga dipertimbangkan untuk mendapatkan perpanjangan restrukturisasi kredit hingga 2024.

Beberapa hal di atas, menurutnya merupakan kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi sebagai bentuk kehadiran negara dalam mengawal proses percepatan pemulihan di industri Tanah Air.

Sebab, pelaku industri mamin harus memutar otak untuk mengantisipasi pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang memengaruhi harga bahan baku.

Tidak hanya dengan dorongan dari pemerintah, Bhima mengatakan setidaknya ada lima upaya yang mesti segera dilakukan oleh pelaku industri mamin di Tanah Air.

Pertama, melakukan pencarian alternatif sumber bahan baku yang terjangkau dan mampu memenuhi permintaan jangka panjang

Kedua, memperluas pasar ekspor ke negara alternatif yang tidak terlalu terdampak oleh gangguan perang Rusia-Ukraina dalam hal distribusi.

"Beberapa kawasan tujuan ekspor tersebut, di antaranya, Timur tengah, Amerika Latin, dan Afrika," ujarnya.

Ketiga, melakukan downsizing atau menurunkan standar dan kuantitas barang agar tidak terjadi penyesuaian harga jual yang signifikan.

Keempat, membuat produk alternatif dengan harga yang terjangkau, sehingga ketika shifting pembelian terjadi maka konsumen tidak bergeser ke produk perusahaan kompetitor.

"Kelima, promosi," kata Bhima.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper