Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai struktur cukai di Indonesia yang terdiri dari 8 golongan saat ini masih terlalu banyak dan tidak efektif.
“Struktur 8 layer itu masih memberikan degree of maneuverability kepada perusahaan untuk menyiasati kenaikan cukai,” ujarnya dalam Webinar Indonesia Lebih Sehat melalui Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau, Selasa (14/6/2022).
Menurutnya, sistem penggolongan tarif cukai hasil tembakau berdasarkan jumlah produksi menjadi peluang bagi perusahaan rokok untuk bermanuver untuk melakukan penghindaran pajak.
Bahkan, besaran tarif cukai yang ditentukan lewat ambang batas produksi juga menyebabkan adanya selisih tarif yang lebar antargolongan sehingga harga rokok di pasaran pun menjadi bervariasi.
“Hal ini mengakibatkan harga rokok masih terjangkau kendati pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau setiap tahunnya,” ujarnya.
Dia pun menyoroti terkait batasan produksi yang dijadikan indikator penggolongan perusahaan.
Baca Juga
“Jika dikaitkan dengan kesehatan, batasan 3 miliar batang itu apa urusannya?” katanya. Itulah sebabnya dia mendorong dilanjutkannya kebijakan simplifikasi struktur tarif cukai.
Faisal berharap pemerintah dapat merevisi ketentuan terkait pengaturan penggolongan pabrikan rokok yang dinilai tak lagi relevan, terutama terkait besaran batasan golongan 2.
“Adanya penggolongan ini kan concern-nya untuk UKM. Pengertian UKM itu apa? Rasanya pabrikan rokok mesin itu bukan UKM lagi. Oleh karena itu sigaret kretek mesin tidak perlu ada penggolongan karena perusahaan rokok besar semua,” katanya.
Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal Febri Pangestu menambahkan bahwa pembedaan golongan berdasarkan jenis dan produksi rokok menjadi penyebab kompleksnya struktur tarif cukai di Indonesia.
Hal ini menurutnya perlu disederhanakan dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat compliance dari perusahaan rokok, meminimalisir peredaran rokok ilegal, menyederhanakan sistem administrasi, mengoptimalkan penerimaan negara, dan mengurangi rentang harga.
Adapun, dalam struktur tarif cukai saat ini ada batasan produksi untuk rokok mesin, yaitu 3 miliar batang untuk menentukan perusahaan berada pada golongan 1 atau 2. Febri menjelaskan bahwa idealnya perusahaan rokok tidak dibedakan tarifnya berdasarkan penggolongan dari jumlah batasan produksi.
“Mengacu batasan produksi 3 miliar batang, menurut saya itu masih terlalu besar,” imbuhnya. Idealnya, lanjut Febri, ketika kebijakan cukai itu ditujukan untuk pengendalian konsumsi, seharusnya tidak perlu ada pembedaan tarif dan golongan.