Bisnis.com, JAKARTA - Operator angkutan penyeberangan swasta meminta adanya kenaikan tarif di tengah kenaikan berbagai harga komoditas yang menjadi komponen perawatan kapal.
Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) mengatakan tarif penyeberangan terakhir disesuaikan pada 1 Mei 2020. Sementara itu, selama dua tahun terakhir terdapat sejumlah kenaikan biaya perawatan kapal yang diperburuk kondisinya oleh kenaikan harga energi global sebagai dampak dari perang Rusia - Ukraina.
Ketua Umum DPP Gapasdap Khoiri Seotomo menjelaskan bahwa sejumlah komoditas atau barang seperti oli, marine coating (cat), plat baja, dan metal meningkat tajam. Oleh sebab itu, dia menyebut kenaikan tarif mau tidak mau perlu dilakukan.
"Sehingga untuk mempertahankan standar keselamatan dan Standar Pelayanan Minimum, tarif mau tidak mau harus disesuaikan. Kalau tidak disesuaikan, tidak mungkin kita bisa bertahan," kata Khoiri kepada Bisnis, Selasa (31/5/2022).
Khoiri mengungkapkan berdasarkan perhitungan harga pokok penjualan, kenaikan tarif secara akumulasi hingga saat ini harus mencapai 37 persen apabila ingin mampu menyesuaikan dengan segala kenaikan harga komoditas saat ini.
Sebelumnya, Khoiri menngatakan kenaikan tarif yang diizinkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) paling tinggi hanya sekitar 10 persen dengan pertimbangan daya beli konsumen.
Baca Juga
"Kita selalu tertinggal dan setiap tahun terakumulasi. Sisa dari akumulasi sejak 2020 itu 37 persen," tuturnya.
Di sisi lain, Khoiri menilai distribusi pendapatan dari tarif penyeberangan masih belum adil. Misalnya, dari pembayaran tiket penumpang dewasa untuk lintas Ketapang - Gilimanuk sebesar (minimal) Rp8.500, operator swasta hanya mendapatkan sebesar Rp3.900. Sisanya, dibagi ke operator pelabuhan sebesar Rp3.800, untuk Jasa Raharja Rp200, dan Jasa Raharja Putera Rp600.
Kendati demikian, Khoiri menyebut terdapat beberapa penumpang yang membeli tiket melalui agen yang ditunjuk oleh ASDP dan harganya bisa hampir dua kali lipat lebih mahal.
"Kalau yang tidak melalui aplikasi, itu belinya dari agen yang ditunjuk ASDP dan rata-rata tarif tidak resminya bisa sampai Rp15.000. Bayangkan kami mendapatkan hanya Rp3.900 itu kan rasio distribusi yang tidak seimbang dan tidak adil," terangnya.
Selain itu, Khoiri tidak ingin penyesuaian tarif dibahas terlalu lama. Dia menyebut pembahasan penyesuaian tarif sebelumnya yang dimulai pada 2018 bisa memakan waktu hingga 40 kali rapat teknis.
"Kalau tarif ke depan masih saja diatur seperti itu, kami khawatir. Tarif itu kebutuhan pokok seperti ibarat darah, kalau kurang kesehatan bisa terganggu," ujarnya.