Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki awal kuartal kedua tahun ini, industri manufaktur dihadapkan pada tantangan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan inflasi.
Setelah sempat mempertahankan momentum pertumbuhan ekspansi pada Januari 2022, purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia melambat pada Februari dan Maret 2022. Pada bulan lalu, nilainya mencapai 51,3, naik tipis dari Februari sebesar 51,2.
Pergerakan tersebut masih merupakan yang paling lambat dalam delapan bulan berturut-turut. Tingginya lonjakan harga bahan baku akibat gejolak geopolitik dunia menjadi penyebab melambatnya ekspansi manufaktur dua bulan berturut-turut.
"Perusahaan melaporkan bahwa rantai pasokan dan tekanan harga memburuk, yang merupakan topik umum untuk sektor manufaktur pada Maret, karena gangguan rantai pasokan global dan dampak perang Ukraina. Tekanan rantai pasokan berkepanjangan dapat menghambat pemulihan sektor dari gelombang Covid-19 terkini," tulis Jingyi Pan, Economics Associate Director IHS Markit, dalam laporannya, awal bulan ini.
Selain kenaikan PPN menjadi 11 persen pada bulan ini, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, termasuk BBM, akan memberikan tekanan pada sisi permintaan.
Mencermati perkembangan tersebut, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat risiko dampak berkepanjangan dari kenaikan PPN. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan kenaikan PPN dan inflasi dapat mempengaruhi rencana ekspansi industri yang dirumuskan sejak akhir tahun lalu.
Baca Juga
Bobby berpendapat pemulihan ekonomi yang banyak disumbang oleh sektor industri juga bisa terdampak.
"PMI [purchasing managers' index manufaktur] kita dari akhir tahun lalu sudah bagus, banyak yang sudah mempersiapkan ekspansi. Ini pasti akan melakukan review ulang [karena kenaikan PPN]," kata Bobby.
Bobby melanjutkan, tekanan inflasi di dalam negeri tidak lepas dari situasi global yang dikompori oleh krisis energi dan konflik Rusia-Ukraina. Harga energi yang melambung ikut mengerek biaya bahan baku. Dia memprediksi dampak pada inflasi bisa berkepanjangan.
Gelagat untuk menahan laju investasi sudah terlihat di industri makanan dan minuman. Produsen fast moving consumer goods (FMCG) PT Kino Indonesia Tbk. (KINO) bakal mengevaluasi rencana ekspansi pada tahun ini, terimbas lonjakan harga bahan baku.
Direktur Kino Indonesia Budi Muljono mengatakan pihaknya mengamati situasi global yang mempengaruhi harga bahan baku untuk menentukan rencana ekspansi mana yang tetap dapat dilanjutkan pada tahun ini.
"Dikarenakan kenaikan harga bahan baku terkait situasi global yang masih memanas, kami tentunya melakukan review terhadap rencana ekspansi dan secara berkala akan menentukan ekspansi mana yang bisa dijalankan dan mana yang ditunda," jelasnya kepada Bisnis.
Sebelumnya, sepanjang tahun ini, KINO menyediakan belanja modal atau capital expenditure senilai Rp350 miliar hingga Rp400 miliar untuk keperluan ekspansi pada 2022. Belanja modal tersebut akan dialokasikan untuk penambahan kapasitas dan pembaruan mesin yang sudah berumur agar produksi perseroan tetap efisien.
Namun demikian, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman meyakini industri mamin tetap prospektif sebagai ladang investasi.
"Kalau ekspansi saya yakin investor-investor kita melihat industri makanan minuman di Indonesia apa pun itu [tantangannya], akan tetap bagus," kata Adhi.
Dari sisi investasi, industri Mamin termasuk sektor yang kebal pandemi. Sepanjang tahun lalu, Penanaman Modal Asing (PMA) di industri makanan melonjak 46,79 persen menjadi Rp2,33 miliar. Terjadi penurunan pada Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 4,86 persen menjadi Rp26,51 triliun pada tahun lalu.
Pada 2020 pun, PMA di industri makanan tetap tumbuh sebesar 25,15 persen menjadi Rp1,59 miliar.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian menyatakan aktivitas produksi akan terpacu oleh permintaan Lebaran. Meski berada di jalur perlambatan, PMI manufaktur Indonesia pada bulan lalu mampu melampaui capaian sejumlah negara, antara lain Korea Selatan (51,2), Malaysia (49,6), China (48,1), Rusia (44,1), serta di atas rata-rata Asean (50,8).
"Kami terus menjaga dan memacu agar sektor industri dapat berproduksi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, terutama pada bulan Ramadan dan Lebaran yang permintaannya akan meningkat," kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri.
Pemulihan manufaktur pada tahun ini diharapkan juga terdorong pembahasan isu industri pada Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG) G20.
Di sisi lain, meski dari segi roda produksi tak terganggu kenaikan PPN dan lonjakan harga bahan baku, Adhi mengatakan pengusaha mamin bersiap menaikkan harga jual usai Lebaran nanti. Sejauh ini Adhi mengaku pengusaha masih menahan diri untuk menaikkan harga karena telah dua kali melakukannya yakni pada akhir 2021 dan awal 2022.
"Kami masih wait ann see mau seperti apa, kemungkinan habis Lebaran kami review, karena kenaikannya tidak hanya bahan baku tapi logistik juga naik lagi, baik lokal maupun internasional," kata Adhi
KONTRAKSI
Industri manufaktur yang belum sepenuhnya pulih harus berhadapan dengan tantangan inflasi pada kuartal pertama tahun ini/Bisnis
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Ina Primiana berpendapat PMI Manufaktur Indonesia dapat menyentuh area kontraksi akibat penaikan PPN menjadi 11 persen. Ina juga mengatakan industri manufaktur saat ini masih dalam proses pemulihan dari pandemi. Sehingga sudah selayaknya pemerintah menjaga momentum pertumbuhannya.
Kenaikan pajak yang disertai inflasi akan menjadi tekanan ganda dan dikhawatirkan juga akan berdampak ke daya saing produk dalam negeri. Akibatnya, serapan pasar akan produk-produk impor bisa jadi meningkat. Terlebih, pelaku industri tekstil melaporkan masuknya barang-barang impor ilegal jelang Lebaran ini.
"Pasti dampaknya ke harga [jual]. Sementara daya beli belum pulih kembali," imbuh Ina.